SELAMAT DATANG DI WEBSITE KUA MARISA_____NIKAH DI KUA PADA JAM KERJA GRATIS_____DI LUAR KUA Rp. 600.000,-____DISETOR SENDIRI LANGSUNG KE BANK____PASTIKAN PERNIKAHAN ANDA TERDAFTAR DI KANTOR URUSAN AGAMA TERDEKAT/SETEMPAT

PERWAKAFAN MENURUT FIKIH DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA



Oleh : H.Asmu’i Syarkowi
A. Pendahuluan
Dewasa ini kondisi ummat Islam masih lemah secara ekonomi. Secara kasat mata hal 
ini dapat diketahui dari kondisi riil kaum muslimin di berbagai belahan bumi dan pada 
akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sinyalemen tersebut memang benar adanya. 
Sebagai contoh, hampir sebagaian besar negara-negara miskin, adalah negara yang 
berpunduduk muslim. Baberapa negara Islam kaya di timur Tengah, misalnya ternyata tidak 
cukup untuk menghapus kesan kemiskinan umat Islam pada umumnya.
Ummat Islam Indonesia tentunya tidak bisa dikecualikan dari fenomena kemiskinan 
tersebut. Yang memprihatinkan adalah ketika kita mengetahui bahwa ummat Islam adalah 
mayoritas di negeri ini. Bukankah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemiskinan 
ummat Islam tersebut juga menjadi potret kemiskinan bangsa. Maraknya berbagai bencana 
yang melanda „negeri sejuta pulau‟ ini tampaknya juga semakin memperparah kondisi 
tersebut. 
Pada saat demikian inilah pada akhirnya mengharuskan ummat Islam untuk 
menelaah dan mengkaji lagi tentang hubungan ajaran agama dengan salah satu problem 
pokok kehidupan terkini, yaitu kemiskinan tersebut. Kajaian ini diawali dengan sebuah 
pertanyaan mendasar, sejauhmana kontribusi ajaran Islam dalam memecahkan problem 
kemiskinan tersebut. Pertanyaan tersebut penting, sebab secara tekstual banyak ajaran-ajaran 
Islam yang menjanjikan kesejahteraan hidup setiap orang beriman, tidak saja di akhirat tetapi 
juga di dunia. Pertanyaan berikut, kalau demikian, mengapa terjadi kesenjangan apa yang 
seharusnya ( das Sollen ) dengan kenyataan ( das Sein )? Di mana letak kesalahannya?
Salah satu aspek ajaran agama yang perlu mendapat kajian tersebut adalah ajaran 
Wakaf. Lembaga agama ini di samping secara tekstual telah lebih 15 abad disyari‟atkan juga 
diharapkan mampu “menghapus” kemiskinan ummat Islam. Mengapa?. Sebagaimana tercatat 
dalam sajarah, lembaga ini pada abad ke 8 dan 9 Hijriyah telah mencapai zaman 
keemasannya. Pada masa itu wakaf meliputi berbagai benda dan di bawah pengawasan dan 
pembinaan para Sultan.1
1
Proyek Pemberdayaan Wakaf Dijen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fikih Wakaf, Halaman 85Tetapi, lembaga inipun kini masih belum bisa diharapkan terlalu banyak untuk 
mensejahterakan umat Islam. Pada hal kuantitas ummat Islam yang mayoritas, banyaknya 
ummat Islam yang relatif berhasil secara ekonomi, dan dukungan pemerintah melalui 
peraturan perundang-undangan mestinya menjadi potensi bagi tercapainya kesejahteraan 
ummat Islam, bahkan bangsa Indonesia, melalui lembaga wakaf ini.
Kiranya dalam konteks itulah kita yang hadir di sini perlu untuk mengkaji ulang ajaran wakaf 
ini. Tulisan berikut secara deskriptif analitik menyajikan pembahasan tersebut dengan 
mengemukakan pembahasan secara garis besar mengenai sisi akademis dan praktisnya.
B. Pengertian Wakaf
1. Menurut bahasa
Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa beberti 
“menahan” atau “berhenti”
2
.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti : tanah negara yang tidak dapat 
diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak 
bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas; 
hadiah atau pemberian yang bersifat suci.3
2. Menurut Istilah Fuqaha
Sejak dulu telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf. Dengan 
demikian memang belum ada satu pengertian mengenai hal itu yang disepakati. Akibat 
perbedaan dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan 
perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi.
Untuk menambah cakrawala pengetahuan, berikut dikemukakan pengertian wakaf dari 
para Fuqaha dalam 4 madzhab, yaitu :
a. Menurut Ulama Hanafiyyah
Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah 
manfaatnya saja.4
b. Menurut Ulama Malikiyyah
2
Satria Efendi, Problematika Huum Islam Kontemporer, Departemen Agama RI, Jakarta,halaman 425
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002 : 1266
4
Ibnu Najim, Al Bahr al Raiq, Juz V, Dar al Kutub al Arabiyah al Kubra, Mesir, halaman 187Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuik 
diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai 
dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewak afkan.5
c. Menurut Ulama Syafi‟iyyah
Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang 
itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan 
oleh agama.6
d. Menurut Ulama Hanabilah
Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat 
dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan 
untuk mendekatkan diri kepada Allah.7
Dari pengertian yang dikemukakan fukaha tersebut paling tidak dapat diterik 
kesimpulan, yaitu :
- bahwa terdapat dua pendangan dalam memberi pengertian wakaf. Dua pengertian 
tersebut sangat bertolak belakang akibat hukumnya, yaitu menurut ulama 
Hanafiyyah dan Malikiyyah di satu pihak dan menurut Ulama Syafiiyyah di pihak 
lain.
- Pendapat pertama berakibat hukum bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan 
barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif, sedangkan pendapat 
kedua menyatakan bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar 
dari kepemilikannya.8
3. Pengertian Wakaf Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia9
a. Menurut PP 28 Tahun 1977
Dalam ketentuan Umum Wakaf diberi pengertian sebegai berikut :
“adalah perbutan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta 
kekayaannyayang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk 
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”. 10
5
Sayyid Ali Fikry, Al Muamalat al Maddiyyah wa al Adabiyyah, Juz II, Dar al Kuutub al Arabiyyah, Beirut, 
halaman 304.
6 Al Syarbiny, Mughni al Muhtaj, Juz II, Mustafa al Bab al Halaby, Mesir, 376.
7
Sayyid Ali Fikri, halaman 312
8 Bandingkan dengan Staria Efendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, halaman 416-420.
9
Sebelum berlalakunya UU Perwakafan
10 Pasal 1 angka (1)b. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004
Dalam ketentuan umum wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian 
hartabenda miliknya untuk dimanfaatkan selamanaya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan 
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah. 11
c. Menurut UU Nomor 3 Tahun 2006
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Prubahan UU Nomor 7 Tahun 
1989 wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang ( Wakif ) 
untuk memisahkan dan/ ataumenyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk 
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentusesuai dengan kepentingannya guna 
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.12
.
d. Menurut Kompilasi Hukum Islam( KHI )
Sebagaimana termuat dalam BUKU II KHI, wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang 
memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagaaakannya untuk selama-lamanya 
guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
13
Dari pengertian-pengertian dapat ditarik kesimpulan, antara lain :
1. Bahwa pengertian wakaf yang ada di Indonesia sejalan dengan pengertian yang 
dikemukakan oleh Madzhab Syafi‟i dan Hambali.
2. Bahwa cakupan wakaf yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 lebih sempit 
dibanding dengan cakupan yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2006 dan KHI. 
Menurut PP 28 Tahun 1977 benda yang diwakafkan hanya sebatas tanah milik, 
sedangkan menurut aturan selainnya benda yang diwakafkan tidak hanya sebatas 
tanah milik tetapi juga harta benda lainnya.
C. Dasar Hukum Wakaf
Lembaga wakaf merupakan salah satu ajaran yang diyari‟atkan. Hal ini dapat diketahui 
dari adanya dalil, antara lain sebegai berikut :
1. Al Qur‟an
a. Surat Al Baqarah ayat 267 
11 Pasal 1 angka ( 1 )
12 Penjelasan Pasal 49 huruf ( e )
13 Pasal 215 ayat ( 1 )
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah ( di jalan Allah )sebagian dari hasil 
usahamu yang baik-baik dan dari sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi 
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan 
dari padanya pada hal kamu sendiri tidak mau memgambilnya melainkan dengan 
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha 
Terpuji.
b. Surat Ali Imran ayat 96
Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu 
manafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, 
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
c. Surat Al Maidah ayat 2

Dan tolong menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan ketaqwaan.
d. Surat Al Hajj ayat 77
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabmu
dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.
2. Al Sunnah
a. Hadits Riwayat dari Ibnu Umar r.a.
Diiriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, bahwa Umar mendapatkan sebidang 
tanah di Khaibar, lalu ia pergi kepada Rasilullah SAW seraya berkata : Saya 
mendapatkan bagian tanah yang belum pernah saya dapatkan harta yang paling saya 
sayangi sebelumnya dari harta itu. Apakah yang akan Nabi peintahkan kepada saya 
? Rasulullah menjawab : Jika Engkau mau tahanlah dzat bendanya dan sedekahkan 
hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkan dan ( menyuruh )supaya tidak dijual, 
dihibahkan dan diwariskan sedangkan manfaat benda itu diberikan kepada fuqara’, 
sanak kerabat, hamba sahaya, sabilillah tamu dan pelancong. Sdan idak ada dosa 
bagi yang mengurusi harta tersebut makan secara wajar atau meberi makan kepada 
temannya dengan tidak bermaksud memilikinya.
Azhar Basyir membeikan komentar terhadap hadits tersebut, sebagai berikut :
- Hadits itulah yang secara spesifik mejnjadi dasar hukum lembaga wakaf dalam 
Islam.
- Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dengan diperjual 
belikan, diwariskan, maupun dihibahkan;
- Harta wakaf dinggap terlepas dari orang yang wakaf;
- Tujuan wakaf harus jelas;
- Harta wakaf bisa dikuasakan kepada pengawas dan mempunyai hak untuk 
mengambil manfaat dari wakaf seperlunya, tidak berlebih-lebihan.14
D. Macam-macam Wakaf
Dalam kitab-kitab fikih dikupas, bahwa bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa, 
wakaf dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Wakaf Ahli atau wakaf Dzurri
Disebut demikian karena wakaf ini ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik seorang 
atau lebih atau baik keluarga si wakif sendiri atau bukan.15
2. Wakaf Khairi
Yag dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan 
agama atau kemasyarakatan, seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan 
14 Azhar Basyir, halaman 6
15 Faisal Haq, 3pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan 
lain-lain.16
E. Rukun dan Syarat Pelaksanaan Wakaf
Dalam fikih wakaf biasanya dikemukakan , bahwa suatu wakaf sah apabaila terpenuhi 
rukun dan syaratnya.
1. Rukun Wakaf ada 4 macam, yaitu :
a. Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
b. Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
c. Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
d. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif seagai suatu kehendak untuk mewakafkan 
sebagaian harta bendanya.17
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, pelaksanaan wakaf harus dipenuhi 6 
unsur-unsur, yaitu :
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf18
2. Syarat Wakaf
a. Syarat bagi Wakif
Orang yang mewakafkan disyaratkan harus cakap berindak dalam membelanjakan 
hartanya. Kecakapan bertindak ini meliputi 4 ( empat ) kreteria, yaitu :
- Merdeka
- Berakal sehat
- Dewasa
- Tidak berada di bawah pengampuan.19
16 Ibid, halaman 6
17 Fikih Wakaf, halaman 19
18 Pasal 6
19 Faisal Haq, dkk, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, PT Garuda Buana, Pasuruan, halaman 17-18.Syarat-syarat di atas adalah dieruntukkan bagi perorangan. Menurut UU Nomor 
41 Tahun 2004, wakif tidak sebatas perorangan tapi juga bisa organisasi dan badan 
badan hukum. Jika wakif berupa perorangan sayat syarat yang harus dipenuhi wakif 
adalah : dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan 
pemilik sah harta wakaf.20
Jika wakif berupa berupa organisasi atau badan hukum, tampaknya UU menyerahkan 
persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasi yang besangkutan jika wakif 
berupa organisasi dan ketentuan badan hukum jika wakif berupa badan hukum.21
b. Syarat Maukuf bih
Benda yang diwakafkan dipandang sah untuk diwakafkan apabila memenui 
syarat sebagai berikut :
- Harus mempunyai nilai/ berguna;
- Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
- Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan.
- Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.22
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan 
ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan 
dikuasai wakif secara sah.23 Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut 
secara limitatif.24
c. Syarat Maukuf Alaih
Tujuan wakaf atau peruntukan wakaf disyaratkan dimanfaatkan dalam batas-batas 
yang sesuai dan diperbolehkan menurut Syari‟at Islam.25
Faisal Haq, mengemukakan bahwa yang dimaksud mahkum alaih ini menurut Fikih 
di samping apa tujuan wakaf juga siapa penerima wakaf tersebut.
Adapun syarat penerima wakaf tersebut, menurutnya adalah harus dinyatakan secara 
tegas dan jelas pada saat ikrar wakaf diucapkan. Apabila wakaf ahli harus 
20 Pasal 8 ayat (1)
21 Pasal 8 ayat ( 2 dan 3 )
22 Ibid, halaman 22-24
23 Pasal 15
24 Pasal 16
25 Fikih Wakaf, halaman 44disebutkan nama atau sifat maukuf alaih sebara jelas dan jika wakaf itu wakaf 
khairy atau ditujukan untuk umum, suatu badan hukum atau tempat ibadah, harus 
ada nadhir/pengawas yang ditunjuk untuk mengelola wakaf tersebut.26
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, pada ketentuan Pasal 22 secara limitatif telah 
ditegaskan, bahwa peruntukan wakaf adalah sebagai berikut :
a. sarana ibadah dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau
e. kemajauan kesejahteraan umum lainnya yang tidsak bertentangan dengan 
syari‟ah dan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan peruntukan tersebut, dengan mengacu kepada ketentuan huruf d 
tampaknya bukan ketentuan yang bersifat kumulatif tetapi hanya alternatif. Artinya, 
dalam praktek misalnya ketika seseorang ingin mewaklafkan harta bendanya dan 
harus menyebut peruntukannya, maka dapat memilih salah satu peruntukan yang 
diinginkan sesuai dengan kondisi harta yang ingin diwakafkan.
d. Syarat Shighat
Sighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk 
menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf 
merupakan salah satu bentuk tasharruf/ tabarru” maka sudah dinggap selesai dengan 
adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.27
Sedangkan tujuan wakaf harus ditujuan untuk ibadah dan mengharapkan 
balasan/pahala dari Allah SWT.
Menurut Fikih lafad shighat wakaf tersebut ada 2 macam, yaitu :
- lafad yang jelas ( sharih ), seperti :
( Aku mewakafkan, aku menahan, aku mendemarkan )28
- Lafad kiasan ( kinayah ), seperti :
( Aku mensedekahkan, aku melarang, aku mengekalkan )29
26 Faisal Haq, 24-25
27 Faisal Haq, halaman 26.
28 Ibid, 
29 IbidAdapun syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan atau tulisan ialah :
- shighat harus terjadi seketika /selesai ( munjazah )
- shigat tersebut tidak diikuti dengan syarat yang bathil, yaitu syarat yang menodai 
dasar wakaf. Misalnya, “Saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur 
hidup, kemudian setelah saya meninggal untu anak-anak dan cucu saya dengan 
syarat bahwa saya boleh menggadaikannya kapan saja saya kehendaki... atau jika 
saya meninggal wakaf ini menjadi harta waris bagi para ahli waris saya.
- Shighat tidak diikuti pembaytasan waktu terentu.
- Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang suidah 
dilakukan.
Menurut Faisal, syarat tersebut pada prinsipnya telah disepakati oleh semua golongan 
Ulama, keculai para Ulama Madzhab Maliki. 30
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak 
dirinci sebagaimana dalam fiqih. Sekalipun demikian tidak berarti karena itu UU 
tersebut kurang memperhatikan keabsahan pelaksaan wakaf dari aspek syari‟at. 
Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa : “ Wakaf sah apabila dilaksanakan 
menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap 
syari‟at Islam untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat 
dan rukun wakaf ini. 
F. Persoalan-persoalan Wakaf Menurut Fukaha
1. Tentang Benda yang diwakafkan
- Menurut Malikiyyah, diperbolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat 
memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik berupa benda tetap 
maupun bergerak, baik untuk selamanya atau untuk waktu tertentu.
- Menurut Syafi‟iyyah, barang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya 
baik barang tak bergerak atau barang bergerak.
- Menurut Hanabilah, barang yang diwakafkan adalah semua barang yang sah 
diperjual belikan. Dengan kata lain, semua benda yang sah diperjual belikan sah 
pula diwakafkan.31
30 Ibid, halaman 27-28
31 Ibid, halaman 232. Pengalihan harta wakaf
Pengalihan yang dimaksud penulis di sini dapat berarti menjual atau menukar. 
Mengenai hal ini juga telah menjadi perdebatan para ulama fuqaha. Perbedaan tersebut 
berangkat dari adanya hadits qauly yang disampaikan oleh rsulullah ketika awal 
disyariatkannya lembaga wakaf. Rasulullah bersabda : “ Tanah wakaf itu tidak boleh 
dijual, tidak boleh diwariskan, dan tidak pula dihibahkan”.32
Dalam memahami hadits tersebut secara garis besar terdapat dua kelompok pendapat. 
Pertama, yang mamahmi secara harfiyah. Menurut pendapat ini wakaf tidak boleh 
dipejual belikan atau ditukarkan atau diubah. Konsekuensinya, menurut pendapat ini 
masjid atau peralatan masjid sebagai wakaf meskipun sudah tidak dapat digunakan, tidak 
boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukarkan harta wakaf berarti memutuskan 
harta wakaf. Sio wakif jhanya mendapat aliran pahala wakafnya dari benda yang 
diwakafkannya, bukan dari benda lain tukarannya.Yang berpendapat seperti ini antara 
lain sebagian pengikut Imam malik dan sebagian pengikut Imam Syafi‟i.33
Kedua, yang memahami secara substansial. Menurut pendapat ini larangan menjual harta 
wakaf dalam hadits itu hanyalah bagi harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan suatu 
kebutuhan. Adapun harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan 
lagi boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya. Pendapat seperti ini 
dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hambal.34 Adapun menukar harta wakaf untuk 
diwakafkan juga, selain wakaf masjid, menurut segolongan pengikut Imam Ahmad 
diperbolehkan. Sedangkan untuk wakaf masjid yang masih dapat dipergunakan menurut 
riwayat Imam Ahmad tersebut terdapat dua pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan 
ada yang tidak membolehkan. Ibnu Taimiyah memilih pendapat ang membolehkan. 35
3. Menarik kembali harta wakaf
- Menurut Hanafi dan Maliki, harta yang diwakafkan boleh ditarik kembali, sebab 
menurut mereka wakaf tidak menyebabkan harta yang diwakafkan keluar dari 
kepemilikannya.
32 HR Bukhary
33 Satria Efrndi, halaman 436-437
34 Ibid, halaman 637.
35 Ibid.Akan tetapi, menurut Madzhab Hanafi, harta yang diwakafkan tidak dapat ditarik 
kembali jika ada alasan sebagai berikut :
- Bila pelaksanaan wakaf dengan jalan wasiyat.
- Bila wakaf diperuntukkan untuk kepentingan tempat ibadah, seperti masjid atau 
mushalla
- Apabila ada kepetusan pengadilan yang memutuskan bahwa harta wakaf itu tidak 
boleh ditarik kembali.
- Menurut Madzhab Syafi‟i dan Hanbali harta yang sudah diwakafkan tidak dapat 
ditarik kembali. Menurut mereka wakaf meneyebabkan harta yang diwakafkan 
keluar dari keepemilikannya.36
4. Wakaf untuk Non Muslim atau sebaliknya
- Menurut Madzhab Maliki, wakaf dari non muslim hukumnya sah jika merupakan 
ibadah menurut agama mereka, walaupun menurut hukum Islam bukan merupakan 
ibadah. Tetapi, jika mereka mawakafkan untuk untuk masjid tidak sah, sebab hal itu 
bukan merupakan ibadah menurut agama mereka.
- Menurut Madzhab Syafi‟i dan Hambali, wakaf non muslim hukumnya sah jika 
merupakan ibadah menurut hukum Islam, walaupun menurut agama mereka tidak
merupakan ibadah, misalnya : wakaf untuk masjid atau syi‟ar Islam lainnya.37
5. Menjual Harta Wakaf
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual harta wakaf, yaitu :
- Menurut pendapat Malikiyyah dan sebagian Syafi‟iyyah tidak boleh menjual harta 
wakaf. Menurut pendapat ini, masjid atau peralatan masjid meskipun sudah tidak 
dapat digunakan tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukar harta 
wakaf bebarti memutuskan harta si wakif. Wakif hanya akan mendapat aliran 
pahala wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari dari benda lainnya 
penggantinya. Oleh sebab itu, batu atau tembok reruntuhan dinding masjid yang 
dibongkar bila tidak dapat digunakan sebagai dinding, bisa difungsikan untukyang 
lain buat kepentingan masjid, bukan untuk dijual. 
36 Satria Efendi, halaman 416-419
37 Faisal Haq, halaman 26Menurut Prof. Dr. Satria Efendi M. Zain, pendapat tersebut timbul akibat 
memahami hadits yang melarang menjual harta wakaf secara harfiyyah.38
- Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal, harta wakaf yang sudah tua atau hampir 
tidak dapat dimanfaatkan, boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya. 
Sebab, larangan menjual wakaf sebagaimana tertuang dalam hadits yang 
dimaksud adalah menjual harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan.
Menurut Prof.Dr. Satria Efendi, pendapat demikian timbul karena memahami 
hadits-- yang melarang menjual harta wakaf—dengan lebih berorientasi kepada 
hal-hal yang bersifat substansial.39
6. Peralihan Harta Wakaf.
G. Pelaksanaan Wakaf dan Pengadilan
.. Sebagaimana disinggung di muka bahwa tampaknya pelaksanaan wakaf ini tidak 
bisa dipisahkan dengan lembaga peradilan. Hal ini wajar sebab, wakaf adalah menyangkut 
harta benda yang terkait dengan kepemilikan seseorang. Di samping itu, dalam 
pengelolaannya juga rawan dengan kesalahan atau bahkan kecurangan yang dapat 
dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan. Persoalann
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 sistem peradilan, yaitu 
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.40
Keempat peradilan tersebut disamping semuanya merupakan peradilan negara yang sederajat 
akan tetapi telah ditetapkan wilayah yurisdiksi masing-masing.
Pertanyaannya adalah lembaga peradilan manakah apabila di kemudian hari terdapat 
persoalan wakaf. 
Pada Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004 terdapat ketentuan :
Ayat (1) : “Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuhmelaui musyawarah untuk mufakat”
Aya (2) : “Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksu pada ayat (1) tidak berhasil 
sengketa dapat diselesaikan melaui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Ketentuan pasal tersebut diberi penjelasan, bahwa yang dimaksud pengadilan tersebut adalah 
Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar‟iyyah.
Pada saat yang sama Pasal 67 juga memuat ketentuan sebagai berikut :
38 Satria Efendi, halaman 436-437
39 Ibid.
40 Pasal 24 UUD 1945Ayat (1):Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, 
mewariskan mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda 
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa 
izin menukar harta benda wakaf yag telah diwakafkan sebagaimana dimaksud 
dalam Pasal 41dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana 
denda paling banyak Rp. 500.000.000,- ( Limaratus juta rupiah ).
Ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dst.
Sekalipun tidak disebutkan dan tidak ditemukan dalam penjelasan pasal, kiranya dengan 
melihat kewenangan lembaga-lembaga peradilan yang ada, dapat diketahui bahwa yang 
berwenang mengadili perkara mengenai ketentuan pidana tersebut adalah lembaga Peradilan 
Umum. 
H. Penutup
Demikianlah sekelumit pembahasan mengenai wakaf ini dengan harapan dapat 
menjadi bahan diskusi bagi para peserta sosialisasi. Semoga bermanfaat.
Waingapu, 5 Agustus 2006

Related Posts:

HUKUM NIKAH SIRIH


Hukum Nikah Sirri
Salah satu tantangan bagi Kantor Urusan Agama sebagai lembaga pencatat pernikahan di Indonesia adalah masih adanya masyarakat yang melakukan nikah kontrak dan pernikahan di bawah tangan alias nikah sirri. Sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai buku nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Menurut Drs. Zamhari Hasan MM, (Widyaiswara Utama Pusdiklat Tenaga Teknis Keagamaan Departemen Agama RI) pernikahan sirri biasanya terjadi untuk nikah kedua dan seterusnya, karena untuk mendapatkan izin dari isteri pertama sangat sulit. “Pernikahan seperti ini jelas tidak punya kepastian hukum atau tidak punya kekuatan hukum yang paling dirugikan adalah wanita,” ujarnya.
Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah sirri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah sirri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah sirri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nikah dalam bentuk walimatul-’ursy atau dalam bentuk yang lain.
Yang dipersoalkan adalah apakah pernikahan yang dirahasiakan, tidak diketahui oleh orang lain sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Adapun nikah sirri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini ialah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sehingga dengan sendirinya tidak mempunyai Akta Nikah yang dikeluarkan oleh pemerintah. Perkawinan yang demikian di kalangan masyarakat selain dikenal dengan istilah nikah sirri, dikenal juga dengan sebutan perkawinan di bawah tangan.
Nikah sirri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan di atas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selengkapnya lihat disini) dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. Dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nikah/Kawin Siri Melanggar UU
Meskipun Undang-Undang Perkawinan sudah diberlakukan sejak 32 tahun lalu, praktik perkawinan yang melanggar undang-undang ini terus saja berlangsung. Bahkan, ada gejala terjadi perebutan otoritas antara ulama dan negara.
Dalam diskusi bertema “Illegal Wedding” yang diselenggarakan Pusat Pelatihan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima di Rahima, Jakarta, Kamis (21/6/08), hal tersebut tergambar konkret dari penjelasan Nurul Huda Haem, S. Ag, penghulu dan petugas pencatat nikah di Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan (saat ini sudah alih tugas sebagai Penyuluh Agama Islam Fungsional di Kec. Mampang Prapatan Jakarta Selatan.
Salah satunya adalah nikah di bawah tangan atau yang umum di sini disebut nikah siri. Secara definisi, Nurul Huda menyebut nikah sirri adalah pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan petugas sehingga pernikahan itu tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA).
“Dilihat dari undang-undang, hukum nikah siri adalah pelanggaran alias batal demi hukum,” tandas Nurul Huda yang menuliskan pengalamannya sebagai penghulu dalam buku Awas! Illegal Wedding. Dari Penghulu Liar Hingga Perselingkuhan (Hikmah Populer, 2007).
Alasan Nurul Huda, negara sudah mengeluarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur mengenai perkawinan. Di dalam undang-undang itu disebutkan, perkawinan harus dicatatkan pada KUA. “Undang-undang itu merupakan hasil penggodokan yang melibatkan unsur ulama, Jadi, dapat dikatakan undang-undang itu adalah produk ijtihad ulama Indonesia,” tandas Nurul Huda.
Ketika produk hukum negara dilahirkan melalui ijtihad ulama dan untuk kemaslahatan rakyat, menurut Nurul Huda, produk itu menjadi produk syariat juga. “Ada kaidah yang mengatakan, keputusan pemerintah mengikat dan menghilangkan perselisihan,” ujarnya.
Pendapat yang mengatakan Islam tidak mengatur pencatatan untuk perkawinan, menurut Nurul Huda, harus dikaitkan dengan perhatian Islam yang besar pada pencatatan setiap transaksi utang dan jual beli. Bila untuk urusan muamalah, seperti utang saja pencatatan dilakukan, apalagi untuk urusan sepenting perkawinan. Alasannya, perkawinan akan melahirkan hukum-hukum lain, seperti hubungan persemendaan, pengasuhan anak, dan hak waris.
Merugikan
Nikah siri bisa terjadi pada banyak kasus. Ada yang dilakukan untuk poligami dengan tidak memberi tahu istri pertama atau istri yang sudah ada lebih dulu. Alasan lain untuk penjajakan sebelum pernikahan yang tercatat dilakukan sehingga bila terjadi ketidakcocokan tidak menimbulkan konsekuensi hukum lain.
Apa pun alasannya, nikah siri atau nikah bawah tangan atau nikah yang tidak dicatatkan di KUA merugikan salah satu pihak. Menurut Nurul Huda maupun Leli Nurohmah dari Rahima, dalam banyak kasus yang paling merugi adalah perempuan dan anak-anak.
Pernikahan yang tidak dicatatkan, misalnya, bila menghasilkan anak, maka anak tersebut hanya diakui hak-haknya dari pihak ibu. Dalam pembuatan akta kelahiran, misalnya, anak hanya akan dicatat mengikuti nama ibu karena pencatatan sipil untuk kelahiran anak mensyaratkan adanya surat nikah resmi dari negara.
“Ada kasus di mana orangtua terpaksa membuat akta nikah palsu (karena orangtua menikah siri). Mereka menyadari betul itu pelanggaran, padahal ketika menikah (siri) dulu katanya menjunjung syariat, sekarang kok malah melanggar syariat,” ungkap Nurul Huda.
Leli Nurohmah yang melakukan penelitian mengenai poligami untuk tesis S-2 di Progam Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia menyebutkan, longgarnya kebolehan pernikahan siri di masyarakat sangat memudahkan poligami.
“Di Cinere (Bogor) sangat banyak poligami, di dalam satu RT saja bisa terdapat 10 rumah tangga poligami melalui pernikahan siri. Ketika saya cek ke pengadilan agama setempat, tidak ada yang mengajukan proses pernikahan poligami. Begitu juga di Kantor Urusan Agama,” ungkap Leli.
Leli menegaskan, perkawinan siri yang menjadi praktik umum di masyarakat membuka memudahkan laki-laki berpoligami tanpa melalui prosedur yang disyaratkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Padahal, undang-undang ini pada prinsipnya menganut asas monogami.
Berebut otoritas
Dalam pengalaman Nurul Huda sebagai penghulu maupun Leli sebagai aktivis di Rahima, pernikahan siri membawa lebih banyak kerugian untuk perempuan dan anak.
“Sayangnya, Majelis Ulama Indonesia mengesahkan pernikahan di bawah tangan walaupun berkontradiksi dengan Undang-Undang Perkawinan. Sepertinya terjadi perebutan otoritas antara ulama dan pemerintah,” tandas Leli. Leli menunjuk contoh di Jawa Timur, di mana banyak pasangan merasa lebih sreg dinikahkan oleh ulama daripada oleh KUA.
Menurut Nurul Huda, hasil ijtima’ Majelis Ulama Indonesia di Pesantren Gontor, Jawa Timur, tidak menghilangkan pencatatan perkawinan. Dalam konsideran hasil ijtima’ dianjurkan mencatatkan perkawinan di KUA walaupun salah satu klausul menyebutkan nikah di bawah tangan boleh jika memenuhi syarat dan rukun menurut syariat agama. Namun, hukumnya menjadi haram jika terdapat mudarat/bahaya akibat pernikahan tersebut.
“Dengan banyaknya mudarat yang ditimbulkan nikah siri, bisa diambil kesimpulan nikah siri yang membuka pintu kebahayaan yang besar hukumnya haram,” kata Nurul Huda.
Melihat begitu mudahnya hukum negara dilanggar tanpa sanksi apa pun, Leli menyebut diperlukan revisi atas UU Perkawinan, terutama menyangkut praktik kawin kontrak dan kawin di bawah tangan. Persoalan lain adalah batas usia nikah yang lebih rendah daripada ketetapan dalam UU Perlindungan Anak.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada BAB II tentang DASAR-DASAR PERKAWINAN disebutkan :
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pasal 4
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 5
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.
Pasal 6
(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.
(Lihat Kompilasi Hukum Islam ada disini)
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 selanjutnya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13.
Pasal 10 PP No. 9 Tahun1975 mengatur tata cara perkawinan. Dalam ayat (2) disebutkan: “Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam ayat (3) disebutkan: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.
Tentang pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 11:
Sesaat setelah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
Dalam Pasal 12 diatur hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta perkawinan, dan dalam Pasal 13 diatur lebih lanjut tentang akta perkawinan dan kutipannya, yaitu:
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua), helai pertama disimpan oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor pencatatan Perkawinan itu berada
Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan perkawinan. Waktu itu perkawinan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Untuk diketahui warga masyarakat, pernikahan yang telah dilakukan hendaknya di’ilankan, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-’ursy. Nabi saw bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ (رواه ابن ماجة عن عائشة
Artinya: Umumkanlah pernikahan dan pukullah rebana [HR. Ibnu Majah dari 'Aisyah].
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ (رواه البخارى عن عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ
Artinya: Adakanlah walimah (perhelatan) meskipun hanya dengan memotong seekor kambing [HR. al-Bukhari dari 'Abdurrahman bin 'Auf].
Apabila terjadi perselisihan atau pengingkaran telah terjadinya perkawinan, pembuktiannya cukup dengan alat bukti persaksian.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur perkawinan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri serta akibat dari terjadinya perkawinan, seperti nafkah isteri, hubungan orang tua dengan anak, kewarisan, dan lain-lain. Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah, apabila terjadi perselisihan di antara suami isteri, atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh haknya masing-masing, karena dengan akta nikah suami isteri memiliki bukti otentik atas perkawinan yang terjadi di antara mereka. Perubahan terhadap sesuatu termasuk institusi perkawinan dengan dibuatnya Undang-undang atau peraturan lainnya, merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan dan bukan sesuatu yang salah menurut hukum Islam. Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi:
لاَ يُنْكَرُ تَغَيُّرُ اْلأَحْكَامِ بِتَغَيُّرِ اْلأَزْمَانِ.
Artinya: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Ibnu al-Qayyim menyatakan :
تَغَيُّرُ اْلفَتْوَى وَاخْتِلاَفُهَا بِحَسْبِ تَغَيُّرِ اْلأَزْمِنَةِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَاْلأَحْوَالِ وَالنِّيَّاتِ وَاْلعَوَائِدِ.
Artinya: Perubahan fatwa dan perbedaannya terjadi menurut perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat istiadat [I'lam al-Muwaqqi'in, Juz III, hlm. 3].
Selain itu pencatatan perkawinan selain substansinya untuk mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat perkawinan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan. Tidak terjadi perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya dilarang melakukan akad nikah. Menghindarkan terjadinya pemalsuan identitas para pihak yang akan kawin, seperti laki-laki yang mengaku jejaka tetapi sebenarnya dia mempunyai isteri dan anak. Tindakan preventif ini dalam peraturan perundangan direalisasikan dalam bentuk penelitian persyaratan perkawinan oleh Pegawai Pencatat, seperti yang diatur dalam Pasal 6 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Keharusan mencatatkan perkawinan dan pembuatan akta perkawinan, dalam hukum Islam, diqiyaskan kepada pencatatan dalam peroalan mudayanah yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatnya, seperti disebutkan dalam firman Allah surat al-Baqarah ayat 282:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya … .
Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih utama lagi untuk dicatatkan.
Dengan demikian mencatatkan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak. Penetapan hukum atas dasar kemaslahatan merupakan salah satu prinsip dalam penetapan hukum Islam, sebagaimana disebutkan dalam qaidah:
تََصَرُّفُ اْلاِمَامُ عَلىَ الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Artinya: Suatu tindakan pemerintah berintikan terjaminnya kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya.
Atas dasar pertimbangan di atas, maka bagi warga masyarakat , wajib hukumnya mencatatkan perkawinan yang telah dilakukannya. Undang-undang No.22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah Talak Dan Rujuk di dalam pasal 3 ayat 1 menyebutkan : Barang siapa yang melakukan akad nikah atau nikah dengan seorang perempuan tidak di bawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan pada pasal 1 ayat 2 (Pegawai Pencatat Nikah) atau wakilnya, dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,- (lima puluh rupiah). Pasal 3 ayat 2 menyebutkan : Barang siapa yang menjalankan pekerjaan yang tersebut pada pasal 1 ayat 2 dengan tidak ada haknya, dihukum kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100,- (seratus rupiah).

Related Posts:

Entri Populer

Arsip Blog