SELAMAT DATANG DI WEBSITE KUA MARISA_____NIKAH DI KUA PADA JAM KERJA GRATIS_____DI LUAR KUA Rp. 600.000,-____DISETOR SENDIRI LANGSUNG KE BANK____PASTIKAN PERNIKAHAN ANDA TERDAFTAR DI KANTOR URUSAN AGAMA TERDEKAT/SETEMPAT

PERANAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN DAN PENGARUH PSIKOLOGIS ADANYA WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM


PERANAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN DAN PENGARUH
PSIKOLOGIS ADANYA WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Tesis
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana S-2
MAGISTER KENOTARIATAN
Oleh :
ETTY MURTININGDYAH, SH
B4B.003.087
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2005
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS
PERANAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN DAN PENGARUH
PSIKOLOGIS ADANYA WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MENURUT
KOMPILASI HUKUM ISLAM
Disusun oleh :
Etty Murtiningdyah, SH
B4B.003.087
telah dipertahankan di depan Tim Penguji
pada tanggal 16 Desember 2005
dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima
Menyetujui,
Pembimbing Utama Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan
PROF. ABDULLAH KELIB, SH MULYADI, SH, MS
NIP. 130 357 857 NIP. 130 529 429
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan
didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan
yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum / tidak diterbitkan, sumbernya
dijelaskan didalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, 8 Desember 2005
ETTY MURTININGDYAH, SH
ABSTRAKSI
Peranan Wali Nikah Dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologis Adanya Wali
Nikah Dalam Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Latar belakang penelitian ini adalah bahwa dengan melakukan perkawinan akan
terhindar dari godaan setan, baik godaan melalui penglihatan mata maupun melalui alat
kelamin atau syahwat, nafsu dan sebagainya. Seperti dalam Hadist Rasul mengenai
anjuran untuk melakukan perkawinan, yaitu Hadist Rasul Muttafaqun Alaihi atau Jamaah
Ahli Hadist. Untuk dapat melaksanakan perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat sahnya
perkawinan bagi calon mempelai laki-laki maupun wanita karena hal ini akan
memberikan pengaruh psikologis bagi suami isteri dalam membina rumah tangganya.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif kualitatif, mengambil lokasi penelitian di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Polokarto. Populasi dan Metode Sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling
sedangkan respondennya adalah Kepala dan pegawai di Kantor KUA dan pasangan
suami isteri. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder.
Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan studi kepustakaan sedangkan
teknik analisis data adalah analisis interaktif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Menurut Hukum Islam peranan wali dalam
perkawinan adalah sangat penting sebab semua perkawinan yang dilakukan harus dengan
izin dan restu wali nikah, terutama wali nasab yaitu ayah, karena perkawinan tersebut
memakai dasar ajaran agama Islam. Pernikahan tanpa izin wali adalah tidak sah. Hal ini
dipertegas dalam Pasal 19 KHI. Dengan adanya wali nikah dalam perkawinan dapat
berperan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan didalam
rumah tangga perkawinannya, dan dengan terpenuhinya terlebih dahulu syarat-syarat dan
rukun perkawinan dan yang tidak kalah penting adalah adanya izin dan restu dari wali
nasab, terutama ayah sebelum perkawinan dilaksanakan akan memberikan pengaruh
aspek psikologis bagi kelangsungan dan ketentraman rumah tangga perkawinan anak
gadisnya.
Adapun hambatan-hambatan yang timbul dalam dalam pelaksanaan perwalian
perkawinan adalah faktor pendidikan agama, menikah dengan menggunakan wali seorang
ustadz, keegoisan orang tua .
ABSTRACT
Role of Marriage Guardian in Marriage and Psyhchological Influence is Existence
of Marriage Guardian in Marriage According to Law Islamic Compilation.
This Research background is that marriage will protected from good devil
obsession through eyesight of eye or through lust or genitals, passion, etcetera. Like in
Hadist Rasul concerning formentation to do marriage, that is Hadist Rasul Muttafaqun
Alaihi or Expert Jamaah of Hadist. To be able to execute marriage have to fulfill by valid
conditions of marriage for bride because this matter will give psychological influence for
bride in constructing household.
Research method which used in this research is descriptive research method
qualitative, taking research location in Office Business Religion of Polokarto District.
Population ang Method Sampling the used is Purposive Sampling that is Head Leader
ang Employee in KUA Office and couple husband/wife. Type and data source the used is
primary and secondary data. Technique data collecting use bibliography study ang
interview while technique analyzes data is interactive analysis.
Research result indicate that according to Islam Law Role of Marriage Guardian
in marriage is of vital importance because all done marriage have to with bless and
permit do from Marriage Guardian, marry especially Nasab Guardian that is father,
because the marriage wear Islam teaching base. Nuptials without Marriage Guardian
permit are null and viod. This matter is assured in section 19 KHI. With existence of
Marriage Guardian do mary in marriage can share to protect womankind of possibility
which harming in household marriage of him. And fulfilled by beforehand marriage
foundation and conditions and which do not less important is the existence of bless and
permit of Nasab Guardian, especially father before marriage executed will give
psychological influence for continuity of and safety of household marriage of they
daughter.
As for arising out resistance in execution of trusteeship of marriage is religion
education factor, marriage with Guardian using of ustadz, egoist of old fellow.
Key word : Marriage Guardian , Psychological influence, Marriage
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang selalu melimpahkan
anugerah dan rahmatNya sehingga penulisan Tesis dengan judul “PERANAN WALI
NIKAH DALAM PERKAWINAN DAN PENGARUH PSIKOLOGIS ADANYA
WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN MENURUT KOMPILASI HUKUM
ISLAM” dapat terselesaikan.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai derajat S2
Magister Kenotariatan pada Universitas Diponegoro Semarang. Selama penulisan tesis
ini, penulis telah mendapatkan bimbingan, petunjuk, saran-saran dan dukungan yang
sangat bermanfaat sehingga tugas yang semula dirasa sukar menjadi lebih mudah dan
lancar. Oleh karenanya, dengan penuh rasa syukur, hormat, dan bahagia, penulis haturkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Mulyadi, SH, MS. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro
2. Bapak Yunanto, SH, M. Hum. selaku Sekretaris Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro
3. Bapak Prof. Ir. Eko Budiharjo, Msc. selaku Rektor Universitas Diponegoro
4. Bapak Prof. DR. Soeharyo Hadi Saputro, dr.SpPD (k). selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang
5. Bapak Prof. Abdullah Kelib, SH. selaku pembimbing Tesis yang dengan penuh
kesabaran membimbing penulis dalam menyelesaikan Tesis ini
6. Tim Reviewer Proposal serta Tim Penguji Tesis yang telah meluangkan waktu dan
perhatiannya untuk menilai kelayakan proposal penelitian penulis dan bersedia
menguji tesis dalam rangka meraih gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) di
Universitas Diponegoro Semarang
7. Para guru besar dan Bapak Ibu Dosen pada Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bimbingan dan
menyalurkan ilmu kepada penulis
8. Bapak Sumanto berserta Staf Administrasi/Pengajaran Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang yang telah memberikan bantuan
selama penulis mengikuti perkuliahan sampai diujikannya tesis ini.
9. Bapak Suharto, SH, M.Hum. selaku dosen wali.
10. Bapak Syafi’i selaku Kepala KUA Kecamatan Polokarto yang telah memberikan
bantuan kepada penulis dalam memperoleh data.
11. Staff KUA Kecamatan Polokarto yang telah memberikan bantuan kepada penulis
dalam memperoleh data.
12. Bapakku tercinta, Kangmas, Mbakyu-mbakyuku, Adikku dan Keponakankeponakanku
tercinta yang telah memberikan dukungan moril dan materiel serta
selalu setia mendoakanku.
13. Rekan-rekan mahasiswa Kenotariatan, khususnya angkatan 2003.
14. Serta semua pihak-pihak lain yang tidak dapat disebut satu persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya.
Semarang, 8 Desember 2005
Penulis,
ETTY MURTININGDYAH, SH
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….......... ii
HALAMAN PERNYATAAN ………………………………………………. iii
ABSTRAK …………………………………………………………………… iv
ABSTRACT ………………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR ………………………………………………….......... vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… viii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1
B. Pembatasan Masalah …………………………………….. 13
C. Perumusan Masalah ………………………………............ 13
D. Tujuan Penelitian ………………………………………… 14
E. Manfaat Penelitian ……………………………………….. 15
F. Sistematika Skripsi ………………………………………. 16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………….. 19
A. Tinjauan Tentang Perkawinan …………………………….. 19
1. Pengertian Perkawinan menurut Hukum Islam ………… 19
2. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Perkawinan
Menurut Hukum Islam …………………………………. 26
3. Dasar-dasar Perkawinan Menurut Hukum Islam ………. 44
4. Tujuan Perkawinan …………………………………….. 51
B. Tinjauan Tentang Wali Nikah Dalam Perkawinan ………... 53
1. Pengertian Wali Nikah ………………………………… 53
2. Macam-macam Wali Nikah …………………………….. 62
3. Syarat-syarat Menjadi Wali …………………………….. 68
C. Peranan Wali Nikah Dalam Perkawinan dan
Pengaruh Psikologi Adanya Wali Nikah Dalam Perkawinan.. 69
viii
BAB III METODE PENELITIAN …………………………………… 73
A. Metode Pendekatan ………………………………………. 73
B. Spesifikasi Penelitian …………………………………….. 73
C. Lokasi Penelitian …………………………………………. 74
D. Populasi dan Metode Sampling …………………………… 74
E. Metode Pengumpulan Data ……………………………….. 75
F. Teknik Analisa Data ………………………………………. 75
G. Jadwal Waktu Penelitian…………………………………… 77
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….............. 79
A. Peranan dan Pengaruh Psikologis Adanya Wali Nikah
Dalam Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam ……. 79
B. Permasalahan-permasalahan Yang Sering Timbul
Sehubungan Dengan Masalah Wali Nikah Dalam
Perkawinan …………………………………………………111
BAB V PENUTUP ……………………...……………………………... 113
A. Kesimpulan ………………………………………………...113
B. Saran-saran …………………………………………………116
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak ada seorangpun yang sempurna di muka bumi ini, karena
kesempurnaan itu hanyalah milik Allah SWT semata. Ketidaksempurnaannya
itu membuat manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling melengkapi
dalam menjalankan hidup ini. Dalam menjalankan hidupnya manusia
membutuhkan pergaulan dan hidup bersama sebagai sarana dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya tersebut. Kebutuhan hidup manusia itu sangat banyak dan
tidak akan ada habisnya, apabila satu kebutuhan telah terpenuhi maka akan
muncul kebutuhan lainnya.
Memang sudah merupakan kodrat manusia antara satu sama lainnya
saling membutuhkan seperti kata Aristoteles, homo secara homomini, manusia
makhluk sosial (Zoon-Politicon).
Sejak dilahirkan manusia telah dilengkapi dengan naluri untuk
senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama
dengan orang lain mengikatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur.
Maslow yang dikutip dalam bukunya Bimo Walgito yang berjudul
“Bimbingan dan Konseling Perkawinan”, mengatakan bahwa manusia
mempunyai beberapa kebutuhan yang bersifat hirarkis dan kebutuhan tersebut
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Suatu kebutuhan akan
muncul apabila kebutuhan yang lebih mendasar telah terpenuhi. Pemenuhan
2
kebutuhan yang lebih mendasar tersebut akan mempengaruhi pemenuhan
kebutuhan yang lainnya. Kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia itu
antara lain :
1. The Physiological Needs, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang
bersifat fisiologi, dan kebutuhan ini adalah kebutuhan yang paling kuat
diantara kebutuhan yang lainnya. Contoh dari kebutuhan ini adalah
makan, minum, dan pakaian.
2. The Safety Needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
rasa aman.
3. The Belongingness and Love Needs, Yaitu kebutuhan yang
berkaitan dengan orang lain, merupakan kebutuhan sosial, misalnya
perkawinan.
4. The Esteem Needs, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan
harga diri, rasa dihargai.
5. The Need For Self-Actualitation, yaitu kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk dapat berperan dalam
kehidupan.1
Apabila kebutuhan yang paling mendasar yaitu sandang, pangan, dan
papan telah terpenuhi, seseorang tentu juga akan membutuhkan rasa aman agar
dapat lebih menikmati apa yang telah dicapainya. Tingkat kepuasan seseorang
terhadap apa yang telah didapatnya dalam hidup cenderung relatif berbeda.
1 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yayasan Penerbit Fakultas, Psikologi
UGM, Yogyakarta, 1984, Hal. 14.
3
Perbedaan ini menyebabkan manusia saling berinteraksi agar dapat memenuhi
kebutuhan hidup lainnya, seperti halnya kebutuhan sosial dan kebutuhan
seksual. Pemenuhan kebutuhan sosial dan seksual yang baik dan dapat diterima
masyarakat adalah hubungan sosial dan seksual antara pria dan wanita yang
disahkan dalam suatu lembaga perkawinan.
Seperti disebutkan dalam Hadist Rasul mengenai anjuran pada kita
untuk melakukan perkawinan, yaitu Hadist Rasul Muttafaqun Alaihi atau
Jamaah Ahli Hadist.
a. “Hai pemuda barang siapa yang mampu diantara kamu serta
berkeinginan hendak nikah (kawin), hendaklah ia itu kawin (nikah),
karena sesungguhnya perkawinan itu akan menjauhkan mata terhadap
orang yang tidak halal dilihatnya dan akan memeliharanya dari
godaan syahwat”.
b. “Dan barang siapa yang tidak kawin hendaklah dia puasa karena
dengan puasa hawa nafsunya terhadap perempuan akan berkurang
(Hadist Rasul Jamaah Ahli Hadist)”.2
Dari Hadist Rasul ini jelas dapat dilihat bahwa perkawinan itu sangat
dianjurkan karena berfaedah bukan saja untuk diri sendiri tetapi juga untuk
rumah tangga, masyarakat, bangsa dan negara. Bahwa dengan melakukan
perkawinan itu akan terhindarlah seseorang dari godaan setan baik godaan
melalui penglihatan mata maupun melalui alat kelamin atau syahwat, nafsu
2 H. Sulaiman Rasyid, Fiq Islam, Jakarta Attahiriyah, 1954, Hal. 260.
4
dan sebagainya. Apabila engkau tidak sanggup menikah wajib bagimu puasa
untuk dapat terhindar dari godaan iblis yang terkutuk.
Banyak pendapat umum yang mengatakan bahwa orang yang
melakukan perkawinan atau pernah melakukan perkawinan mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi dan dihargai daripada mereka yang belum
melakukan perkawinan. Bagi kaum wanita dengan perkawinan maka akan
memberinya kedudukan sosial yang lebih tinggi, karena statusnya sebagai isteri
ia akan mendapat hak-hak tertentu dan dapat melakukan perbuatan hukum
yang sebelumnya tidak dapat dilakukannya sebelum menikah, yaitu antara lain
seorang isteri berhak untuk memperoleh mahar, nafkah, pakaian, tempat
tinggal dan perlakuan yang baik serta dapat mewaris harta suaminya. Bahkan,
sebagian orang berpendapat bahwa hidupnya telah lengkap dan sempuma
apabila mereka telah melangsungkan perkawinan. Dengan telah terpenuhi
segala kebutuhan hidupnya itu, manusia diharapkan lebih dapat
mengaktualisasikan diri dalam rangka mempertahankan eksistensinya.
Dari sudut pandang yang berbeda, Gerungan membagi tiga kelompok
kebutuhan hidup manusia, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi
teologis, kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis dan kebutuhan
yang berhubungan dengan segi sosiologis. Hal ini didasari oleh pendapat yang
mengatakan bahwa manusia itu adalah mahluk religius, biologis dan sosial.3
Dalam memenuhi segala kebutuhannya tersebut, manusia perlu
berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan yang terjadi tersebut selain
3 Bimo Walgito, Op Cit, Hal. 14.
5
dapat diwujudkan untuk mengembangkan sosial budaya, dalam suatu bentuk
kerjasama dapat juga diwujudkan dalam bentuk hubungan untuk mendapatkan
keturunan agar generasi berikutnya tidak musnah. Hubungan ini berarti
pemenuhan akan kebutuhan manusia yang bersifat kebutuhan yang berkaitan
dengan orang lain, yaitu The Belongingness and Love Needs, seperti halnya
perkawinan.
Untuk membina suatu rumah tangga, diperlukan pergaulan antara pria
dan wanita, sebab secara naluriah seorang pria akan membutuhkan seorang
wanita dalam kehidupannya, demikian pula sebaliknya seorang wanita akan
membutuhkan kehadiran seorang pria dalam kehidupannya.
“Perkawinan, selain sebagai tuntutan fitrah manusia, juga merupakan langkah
awal membina rumah tangga yang sakinah”.4
Pengertian perkawinan menurut kompilasi hukum Islam yang
dituangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pernikahan,
yaitu akad yang sangat atau miitsaqan ghaliidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Menurut hukum Islam, pengertian
perkawinan itu adalah akad atau persetujuan calon suami dan calon istri
karenanya berlangsungnya harus melalui ijab dan qabul atau serah terima.5
4 M Thalib, 25 Tuntunan Upacara Perkawinan Islam, Irsyad Baitus Salam, Bandung, 1999, Hal.
5.
5 Nashruddin Thoha, Pedoman Perkawinan Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1967, Hal.
10.
6
Tetapi yang harus kita ketahui bahwa akad nikah itu sekali-kali
bukanlah berarti jual beli antara suami dan wali. Karena nikah itu adalah
perjanjian dan ikatan lahir batin seorang laki-laki dan seorang perempuan
dalam suatu rumah tangga yang damai dan bahagia serta dilangsungkan dengan
memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat perkawinan menurut hukum Islam
dan Negara.
Di dalam ayat-ayat Al-Qur`an disebutkan bahwa hidup berpasangpasangan
adalah merupakan pembawaan naluriah manusia dan makhluk hidup
lainnya, bahkan segala sesuatunya diciptakan berjodoh-jodoh. Hal ini
disebutkan dalam salah satu ayat Al-Qur`an yaitu surat Adz-Dzariyat 49 yang
mengajarkan :
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”.6
Dan hidup berpasang-pasangan itulah keturunan manusia dapat
berlangsung sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur`an surat An-Nisa ayat 1
yang menyatakan :
Hai sekalian umat manusia bertaqwalah kamu kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari seorang diri (Adam) dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya (Hawa) dan daripada
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak
6 Ahmad Azhar Bashir, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Fakultas Hukum Islam Indonesia,
Yogyakarta, 1980, Hal. 9.
7
Dari ketentuan-ketentuan ayat-ayat Al-Qur`an tersebut jelaslah bahwa Islam
menganjurkan perkawinan.
Dengan dilaksanakannnya suatu perkawinan berarti menimbulkan
suatu hubungan timbal balik antara suami istri, dimana masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai satu pasangan
yang sudah mengikatkan dirinya dalam suatu lembaga yang sah. Keadaan ini
jelas berbeda dengan keadaan sebelum dilangsungkannya perkawinan, yang
bebas tanpa adanya ikatan dan tanggungjawab terhadap pasangannya.
Perkawinan di Indonesia diatur dalam suatu Undang-Undang
Perkawinan Nasional, yaitu UU No. 1 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun
1974 No. l Tambahan Lembaran Negara No. 3019) dan untuk pelaksanaannya
dikeluarkan suatu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975
yang mengatakan bahwa UU No. l Tahun 1974 mulai berlaku secara efektif
sejak tanggal 1 Oktober 1975. Hal ini berarti sejak saat itu pula secara yuridis
formal berlaku suatu hukum nasional yang mengatur masalah perkawinan di
Indonesia dan dengan demikian secara resmi menghapus segala peraturan
hukum perkawinan yang berlaku sebelumnya, yaitu ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet boek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonantie Christen
Indonesier Stb 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
8
Gemengde Huwelijken Stb 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang
mengatur tentang perkawinan.7
Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan tersebut mengandung arti bahwa landasan perkawinan
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan yang sah adalah
perkawinan yang dilakukan menurut aturan agama dan kepercayaan masingmasing.
Sedangkan segi formalnya perkawinan itu harus dicatatkan pada
kantor pencatatan sipil dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan
selain agama Islam dan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Suatu perkawinan itu bukan merupakan perbuatan hukum saja, tetapi
juga merupakan perbuatan keagamaan. Karena sah atau tidaknya perkawinan
tergantung pada agama dan kepercayaan masing-masing. Karenanya
perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 haruslah benar-benar
atas dasar suka rela dan tidak ada unsur paksaan. Menurut Pasal 4 Kompilasi
Hukum Islam masyarakat Indonesia yang beragama Islam menggunakan
Hukum Islam untuk mengatur masalah perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 1982, Edisi Pertama, Hal. 2.
9
Perkawinan yang sah harus memenuhi rukun dan syarat sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam. Maksudnya bahwa
perkawinan dikatakan sah apabila telah terpenuhi syarat-syarat dan rukunrukunnya.
Apabila syarat-syaratnya tidak lengkap
maka perkawinan tersebut menjadi tidak dapat dilangsungkan, dan apabila
salah satu dari rukunnya tidak ada maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah
atau menjadi batal.
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya
perkawinan (nikah) menurut Hukum Islam, wali nikah adalah hal yang sangat
penting dan menentukan. Bahkan menurut Syafi`i tidak sah nikah tanpa adanya
wali bagi pihak pengantin perempuan, sedangkan bagi calon pengantin lakilaki
tidak diperlukan wali nikah untuk sahnya nikah tersebut. Adanya wali
nikah dalam perkawinan merupakan hal yang mutlak harus ada, tanpa adanya
ijin dari wali nikah maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah atau batal.
Imam Idris AS, Syafi`i beserta para penganutnya berpendapat tentang
wali nikah ini bertitik tolak dari hadist Rasullullah SAW, yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan Al Tarmidzi berasal dari Siti Aisyiah (istri Rasullullah)
yang berbunyi seperti di bawah ini :
“Barangsiapa diantara perempuan yang nikah dengan tidak seizin
walinya, nikahnya itu batal.” 8
8 H. Sulaiman Rasyid, Op Cit, Hal. 362.
10
Dalam hadist Rasullullah tersebut terlihat bahwa seorang perempuan
yang hendak menikah harus memakai wali, berarti tanpa wali maka nikah itu
batal menurut Islam atau nikahnya tidak sah.
Peranan wali nikah dalam perkawinan sangat penting dan
menentukan, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum
Islam, yang menyatakan bahwa, wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Menurut Hukum Islam, wali nikah itu sangat penting peranan dan
keberadaannya, sebab ada atau tidaknya wali nikah tersebut menentukan
sahnya dari suatu perkawinan. Wanita yang dinikahkan atau dikawinkan tanpa
persetujuan walinya maka perkawinannya tersebut adalah batal, seperti yang
ditegaskan dalam Al-Hadist yang tersebut dimuka.
Alasan lainnya yang membuat keberadaan wali nikah dalam
perkawinan menjadi sangat penting adalah adanya perbedaan antara pria dan
wanita, baik dari segi fisik maupun mental. Perbedaan ini membuat kedudukan
antara pria dan wanita juga berbeda, dan sudah menjadi kodratnya bahwa
seorang pria merupakan pemimpin dan pelindung kaum wanita, seperti firman
Allah SWT dalam Surat An-Nissa ayat 34 yang artinya berbunyi :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita ) .....................................”
11
Selain perbedaan dari segi fisik dan mental, Ahmad Husnan
mengatakan bahwa ada perbedaan lainnya yang menonjol antara pria dan
wanita, yaitu perbedaan dalam hal kekuatan, keberanian, dan wawasan.
Tingkat penguasaan pria terhadap ketiga hal tersebut lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita. Hal ini membuat pria lebih bertanggung jawab daripada wanita,
sehingga pria dapat dijadikan pelindung bagi wanita dari segala gangguan yang
mungkin timbul. Keadaan seperti inilah yang juga membuat wanita
membutuhkan wali nikah dalam melangsungkan perkawinan, sebab seorang
laki-laki yang menjadi walinya akan ikut bertanggung jawab terhadap segala
sesuatu yang mungkin timbul dengan dilaksanakannya perkawinan.9
Bagi seorang wanita hubungan dengan ayahnya merupakan hubungan
pria dan wanita yang pertama kali dalam hidupnya. Hubungan ini selamanya
akan mempengaruhi hampir setiap bagian kehidupannya secara mendalam.10
Hubungan ikatan batin anak perempuan dengan orang tuanya lebih
erat, jadi tidak akan mudah untuk begitu saja seorang anak perempuan
melepaskan diri dari orang tuanya untuk membentuk rumah tangga sendiri
tanpa harus mendapat ijin dan restu dari orang tuanya dengan kata lain orang
tua melepas anak gadisnya dengan ikhlas dan ridho untuk mengarungi bartera
rumah tangga bersama suaminya dengan diiringi doa untuk kebahagiaan dan
keselamatan rumah tangga anaknya.
9 Ahmad Husnan, Hukum Keadilan Antara Wanita dan Laki-laki, Penerbit Al Husna, Solo, Hal.
61-62.
10 Williams S Appleton, Ayah dan Puterinya, Terjemahan dari Fathers and Daughters, Penerbit
Dahara Prize, 1994, Hal 38-39.
12
Untuk seorang pria, pernikahan tanpa seizin dan tanpa sepengetahuan
ayah kandung adalah sah kalau dilakukan dengan alasan yang Islami, akan
tetapi untuk seorang wanita pernikahannya adalah tidak sah, karena ada
masalah yang menyangkut dengan wali nikah yaitu ayahnya sebagai wali nasab
selain itu dia dinilai telah melakukan dosa besar berupa sikap yang nyata-nyata
telah menyakiti hati orang tuanya. Disini terlihat adanya pengaruh psikologis
dari adanya figure atau sosok seorang ayah sebagai wali nikah dari anak
gadisnya.
Dapatlah dimaklumi betapa besarnya tanggungjawab orang tua
terhadap anak perempuan, sejak masih dalam kandungan hingga lahir dari
masa kanak-kanak hingga menjadi dewasa. Anak perempuan adalah penerus
keturunan ayah dan ibunya, terlahir sebagai buah kasih sayang dari kedua
orang tuanya, dia dirawat dan dididik dengan penuh kecermatan dan kehatihatian
untuk dipersiapkan kelak tumbuh dan berkembang menjadi wanita
dewasa yang menjadi idaman kaum laki-laki untuk kemudian akan dipinang
untuk dijadikan seorang isteri, dimana diharapkan oleh orang tua yang telah
mendidiknya dapat menjadi seorang isteri yang solekhah. Hal tersebut juga
dapat dilihat adanya pengaruh psikologis dari wali nikah yaitu ayah dari
mempelai wanita.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui tentang pentingnya
peranan dan keberadaan wali nikah serta pengaruh psikologis adanya wali
tersebut dalam melangsungkan Perkawinan. Hal ini mendorong penulis untuk
mengetahui dan mempelajari mengenai Peranan dan Pengaruh Psikologis
13
adanya seorang wali nikah dalam perkawinan dan membuat penulis mengambil
judul penelitian :
“PERANAN WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN DAN PENGARUH
PSIKOLOGIS ADANYA WALI NIKAH DALAM PERKAWINAN
MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM .”
B. PEMBATASAN MASALAH
Penulis melakukan pembatasan masalah guna menghindari adanya
penyimpangan dari permasalahan yang ada, sehingga penulisan dapat lebih
terfokus dan tidak melebar dari pokok permasalahan yang ada serta penelitian
yang dilakukan menjadi lebih terarah dalam mencapai sasaran yang
diharapkan.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai
peranan dan pengaruh psikologis adanya wali dalam perkawinan menurut
Kompilasi Hukum Islam, khususnya bagi mereka yang beragama Islam.
C. PERUMUSAN MASALAH
Menurut Winarno Surahmad, perumusan masalah adalah :
“Setiap kesulitan yang menggerakkan manusia untuk
memecahkannya.
14
Masalah ini dirasakan sebagai suatu rintangan yang pasti dilalui
(dengan jalan diatasnya) apabila kita berjalan terus masalah ini
menampakkan diri sebagai tantangan”.11
Untuk mempermudah arah dan tujuan serta efektifnya proses
pembahasan dari penelitian ini, maka penulis menentukan beberapa rumusan
permasalahannya sebagaimana tersebut di bawah ini :
1. Bagaimanakah peranan dan pengaruh psikologis dengan adanya wali nikah
tersebut dalam suatu perkawinan?
2. Permasalahan-permasalahan apa sajakah yang sering timbul dalam
perkawinan sehubungan dengan masalah wali nikah?
D. TUJUAN PENELITIAN
Dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Penelitian Hukum”,
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa Penelitian merupakan bagian pokok
ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek
kehidupan, disamping juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis. 12
Tujuan penelitian dimaksudkan untuk memberikan arah yang tepat
dalam proses dan pelaksanaan penelitian yang dilaksanakan agar penelitian
tersebut berjalan sesuai dengan apa yang hendak dicapai. Dalam penelitian ini,
penulis membuat tujuan penelitian menjadi dua kelompok :
11 Winarno Surahmad, Dasar dan Teknik Research, CV Transito, Bandung, 1975, Hal. 33
12 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1994, Hal.3.
15
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peranan wali nikah dalam perkawinan dan pengaruh
psikologis adanya wali nikah dalam perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui apa permasalahan yang sering timbul sehubungan
dengan masalah wali nikah.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memenuhi persyaratan formal bagi penulis dalam rangka
memperoleh gelar kesarjanaan Strata 2 pada Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro.
b. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta masukan pemikiran
dalam khasanah ilmu hukum terutama aturan-aturan yang ada dalam
hukum Islam yang dapat bermanfaat di kemudian hari.
E. MANFAAT PENELITIAN
Dalam setiap penelitian tertentu diharapkan adanya manfaat yang
dapat diambil dari penelitian tersebut, sebab besar kecilnya manfaat penelitian
akan menentukan nilai dari penelitian tersebut :
1. Manfaat Teoritis
Yaitu sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu hukum.
16
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis di
bidang ilmu hukum serta memberikan pengetahuan kepada masyarakat
tentang peranan dan wali dalam perkawinan dan pengaruh psikologis
adanya wali dalam perkawinan bagi mereka yang beragama Islam.
b. Memberikan sumbangan pemikiran dalam memecahkan permasalahan
yang ada hubungannya dengan wali nikah.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberi gambaran mengenai isi tesis menyeluruh, penulis
telah membuat sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan secara singkat mengenai :
- Latar belakang Masalah
- Pembatasan Masalah
- Perumusan Masalah
- Tujuan Penelitian
- Manfaat Penelitian dan
- Sistematika Penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dijelaskan mengenai dua hal, yaitu :
1. Yang pertama tinjauan tentang perkawinan yang berisi tentang:
- Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam
17
- Syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan menurut Hukum
Islam
- Dasar-dasar perkawinan dan
- Tujuan perkawinan
2. Yang kedua adalah tinjauan tentang wali nikah dalam
perkawinan, yang isinya tentang :
- Pengertian wali nikah menurut Hukum Islam
- Macam-macam wali nikah dan
- Syarat-syarat menjadi wali nikah
BAB III : METODE PENELITIAN
Dalam Bab ini akan membahas mengenai :
- Metode Pendekatan
- Spesifikasi Penelitian
- Lokasi Penelitian
- Populasi dan Metode Sampling
- Metode Pengumpulan Data
- Teknik Analisa Data dan
- Jadwal Penelitian
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan membahas mengenai pentingnya peranan wali
nikah dalam perkawinan yang isinya tentang :
18
- Peranan dan pengaruh psikologis adanya wali nikah dalam
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam.
- Permasalahan-permasalahan yang sering timbul sehubungan
dengan masalah wali nikah dalam perkawinan
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini akan disajikan mengenai kesimpulan dan saran yang
dapat ditarik atau diambil dari dilaksanakannya penelitian ini.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam
Allah SWT telah menciptakan pria dan wanita agar dapat
berhubungan satu sama lain, saling mencintai, menghasilkan keturunan,
serta hidup bersama secara damai yang sesuai dengan perintah Allah SWT
dan petunjuk Rasulullah.
Sehubungan dengan adanya akibat yang penting dari hidup
bersama, maka masyarakat memerlukan peraturan-peraturan untuk
mengatur tentang hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri. Hal-hal yang perlu diatur yaitu antara lain mengenai
syarat-syarat untuk dapat hidup bersama, pelaksanaan hak-hak dan
kewajiban, kelanjutan dan mengenai terhentinya hidup bersama tersebut.
Keseluruhan aturan-aturan hukum yang menentukan prosedur yang harus
dilalui beserta ketentuan hukum yang menentukan hak-hak dan kewajiban
serta kelanjutannya dan juga mengenai terhentinya perkawinan akan
menimbulkan suatu mengenai ikatan antara seorang pria dan seorang
wanita, maka penulis akan menjelaskan tentang perkawinan dari tinjauan
hukum Islam.
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan
biologis antara pria dan wanita yang diakui sah melainkan sebagai
20
pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum
perkawinan Islam mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan
dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan
kebenaran. Selain itu perkawinan juga bersifat religius, artinya aspekaspek
keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan
melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan dasardasar
pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan
yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya yaitu :
1.1. Iman ialah percaya kepada Allah yang menciptakan alam semesta
termasuk manusia yang secara siklus terdiri dari sel sperma laki-laki
dan sel telur perempuan yang dibentuk melalui proses tahapan. Dan
proses tahapan itu semula dari gumpalan darah berkembang menjadi
daging, kemudian berbentuk tulang dan bercampur menjadi satu
serta pembungkus kulit. Proses selanjutnya akan terjadi kehidupan
roh/sukma setelah janin dilahirkan menjadi bayi.
Siklus hidup menjadi manusia tidak akan sempurna kalau hubungan
yang dilakukan antar suami istri tidak memenuhi syarat yang baik
seperti kesehatan, kedewasaan, kejiwaan dan kesucian diri. Dari segi
inilah Islam memandang bahwa perkawinan sebagai suatu proses
kehidupan keluarga benar-benar dilaksanakan dalam suasana suci
dan bersih sebagai manusia yang luhur.
1.2. Islam, maksudnya bahwa bagi setiap calon suami istri wajib
mempunyai jiwa penyerahan diri kepada Allah sebagai penciptanya.
21
Kalau keyakinan ini sudah benar-benar dihayati maka dalam
melakukan kewajiban sebagai suami istri tidak akan menimbulkan
keraguan, kecemasan dan kekuatiran. Segala sesuatu yang
menyangkut mengenai kewajiban dan haknya akan dapat
dilaksanakan sesuai proses.
1.3. Ikhlas, artinya pada diri masing-masing calon suami istri memiliki
tekad yang bersih dan terbuka untuk membentuk keluarga sebagai
kebaktian kepada Allah. Asas ini akan menghilangkan kecemasan
atau ketidakpuasan dalam melaksanakan kehidupan keluarga yang
akan menerima godaan dan cobaan, musibah atau kesengsaraan
dalam menjalankan tugas sebagai kewajibannya secara sadar dan
bertanggungjawab. Selain itu juga akan menutup kekurangankekurangan
kedua belah pihak dalam membina kesatuan untuk
mencapai kesempurnaan hidup rumah tangga.13
Sedangkan kalau dilihat dari dasar-dasar pemikiran sosial maka
perkawinan itu tidak mungkin akan berlangsung dengan sendirinya tanpa
memperhatikan situasi dan suasana masyarakat. Secara sosiologis
kehidupan suami-istri tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan
perkembangan lingkungan masyarakat. Tingkah laku anggota-anggota
keluarga harus sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di
13 R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), Berdasarkan
Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Penerbit CV Mandar Maju/1992, Bandung,
Hal. 73.
22
dalam kehidupan masyarakat politis, ekonomi dan berkebudayaan akan
berkembang bersama-sama antara kehidupan keluarga dan masyarakatnya.
Dilihat dari aspek pemikirannya, maka suatu perkawinan itu memberikan
cerminan yang bersifat abadi bahkan berlanjut dalam kehidupan akhirat.
Maksudnya ikatan perkawinan itu dibentuk dengan kesungguhan hati
nurani dalam wujud yang baik antara suami dan istri. Perwujudannya akan
terlihat baik bagi hubungan dua keluarga besar pihak suami-istri yang juga
dapat menghindarkan segala bentuk penyimpangan dan nafsu individu.
Berdasarkan penglihatan itu semua, maka Islam memandang
perkawinan merupakan suatu ikatan antara seorang pria dan seorang
wanita dalam membentuk keluarga berdasarkan hukum yang kuat. Secara
yuridis perkawinan itu bukan sekedar persetujuan hidup bersama
melainkan kehidup-bersamaannya didasarkan kepada aturan yang
diperintahkan Allah.
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah atau ziwaj. Kedua
istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa Indonesia ada perbedaan,
sebab kata 'nikah' berarti hubungan seks antar suami-istri sedangkan 'ziwaj'
berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang
mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk. mencapai tujuan
hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.
23
Menurut Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga
berarti aqad, dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh (Syafi’i).14
Dialah yang menciptakan kamu dari satu zat dan daripadanya Dia
menciptakan istrinya agar Dia merasa senang (QS VII : 189) Al A’raaf
(tempat tertinggi). Jadi, menurut Al Qur’an, Perkawinan adalah
menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta
orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah),
pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni
(rahmah).15
Sebelum melangsungkan perkawinan bagi calon suami-istri
benar-benar bersedia melanjutkan hidup sebagai pelaksanaan perintah
Allah yang dicantumkan dalam Al-Quran. Dan menurut bentuknya Islam
mewujudkan susunan keluarga sebagai suami-istri yang diridhoi Allah
melalui ikatan perjanjian (aqad) bernilai kesucian/sakral rohaniah dan
jasmaniah.
Firman Allah dalam Surat (4) An-Nisa ayat 3 menyatakan :
“Kawinlah beberapa perempuan yang kamu sukai, dua atau tiga
dan empat, tetapi jika kamu takut bahwa kamu tidak bisa berlaku
adil, maka kawinlah seorang saja”.
14 Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah dan Rujuk, Jakarta, Ihya Ulumuddin,
1971, Hal. 65
15 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, UI Press, 1974, Hal. 47
24
Dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 disebutkan bahwa :
perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan galidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa perkawinan
menurut Hukum Islam adalah suatu kesepakatan atau perjanjian antara pria
dan wanita yang mengikatkan dirinya dalam hubungan suami istri agar
dapat menghalalkan hubungan kelamin guna mendapatkan keturunan dan
mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadah kebaktian kepada
Allah SWT yang disertai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.
Hilman Hadikusuma, SH dalam bukunya yang berjudul “Hukum
Perkawinan Indonesia” mengatakan bahwa perkawinan menurut Hukum
Agama Islam adalah perikatan antara wali perempuan (calon istri) dengan
calon suami, bukan hanya perikatan antara pria dan wanita saja
sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum
Kristen. Dengan adanya wali dalam perkawinan menunjukkan bahwa
ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan
hukum perikatan perorangan.16
Didalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak terdapat
suatu definisi tentang perkawinan, akan tetapi di dalam Pasal 26 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata dikatakan bahwa perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk
16 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 11.
25
waktu yang lama dan dijelaskan juga bahwa undang-undang hanya
memandang perkawinan dari sudut hubungannya dengan hukum perdata
yang artinya terlepas dari peraturan-peraturan yang ada dalam suatu agama
tertentu.
Perkawinan menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata lebih
bersifat materialistis individualistis sebab lebih dititikberatkan pada
perbuatan hukum yang diakibatkan oleh adanya suatu perkawinan dan
hubungan perdatanya saja.
Dalam hal perkawinan hanya dipandang dari segi keperdataannya
saja, maka apabila dalam melaksanakan perkawinan telah terpenuhinya
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang Undang Hukum
Perdata maka perkawinan tersebut dapat dianggap sah tanpa
memperdulikan lagi hukum agama masing-masing pihak dari perkawinan
merupakan urusan pribadi dari pihak-pihak yang melakukan perkawinan
tanpa melibatkan pihak lainnya.
Negara dan bangsa Indonesia mempunyai kepentingan untuk turut
serta mencampuri masalah perkawinan. maka pemerintah telah
membentuk suatu undang-undang tentang perkawinan yang bersifat
unifikasi dalam lapangan hukum perkawinan. Undang Undang Perkawinan
ini diberi nama UU No. 1 Tahun 1974 yang disahkan pada tanggal 2
Januari 1974 dan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975
telah memberikan pengertian tentang perkawinan yang berlaku untuk
semua golongan warganegara dan masyarakat di seluruh Indonesia.
26
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya
adalah Ketuhanan Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan erat
dengan agama atau kerohanian. Perkawinan tidak boleh berunsurkan lahir
atau jasmani saja, tetapi harus memiliki unsur batin atau rohani, sebab
regiusitas adalah salah satu pilar pokok bagi terciptanya, kelurusan,
kebahagiaan, kekelanjutan sebuah keluarga, masyarakat dan negara.17
2. Syarat-syarat dan Rukun-rukun Perkawinan
2.1. Syarat-syarat perkawinan
Yang dimaksud dengan syarat, ialah segala sesuatu yang
telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk
menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan.
Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum
melangsungkan perkawinan menurut R. Abdul Djamali yang dikutip
dalam bukunya Hukum Islam, ada enam yaitu :
a. Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan
Calon suami-istri mempunyai dorongan (motivasi) yang
sama untuk membentuk suatu kehidupan keluarga. Motivasi
mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh
dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan lanjut
berpartisipasi dalam membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu
sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat
17 R. Soetoyo Prawiro Hamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988, Hal. 43.
27
dipaksakan oleh pihak lain baik orang tua maupun orang yang
dituakan dalam keluarga masing-masing.
b. Dewasa
Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia
melainkan dari kedewasaan fisik dan psikis yang sekurangkurangnya
ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini ditentukan
dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tandatanda
itu bagi seorang pria sejak pertama kali menghasilkan
sperma (baliqh) dan bagi seorang wanita sejak menstruasi
pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena yang dimaksud
dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam
sesuai ilmu kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada
perbedaannya. Sedangkan kedewasaan psikis dimaksudkan
bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan mental yang
baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami-istri
terutama dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan
terhormat.
c. Kesamaan agama Islam
Kedua belah pihak pemeluk agama Islam yang sama.
Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang
sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya
salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan
mereka itu.
28
Bagi seorang wanita Islam dilarang melakukan
perkawinan dengan seorang pria lain agama dan hukumnya
haram. Larangan itu dimaksudkan untuk menjaga dan
memelihara keturunan yang sah sesuai dengan ajaran Islam.
Sedangkan bagi seorang pria Islam yang kuat imannya
diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang wanita
lain agama, asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali
bertobat dan bersedia memeluk agama Islam.
d. Tidak dalam hubungan nasab
Yang dimaksud dengan hubungan nasab, ialah
hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak.
Syarat ini diperlukan karena hubungan darah yang dekat baik
secara vertikal maupun horisontal tidak dikehendaki, sebab
perkawinan dalam keturunan satu darah masih merupakan satu
keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak
terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan
kesehatan dari keturunan itu, sedangkan dari segi psikologi
banyak terlihat adanya kelainan psikis dan mental kalau sampai
dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah.
e. Tidak ada hubungan rodhoah
Rodhoah ialah sepersusuan, maksudnya bahwa antara
pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah
mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya
29
orang lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya kalau
melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan rodhoab ini haram
juga hukumnya kalau yang menikah saudara-saudara suami,
paman, bibi dan keponakan dari ibu, yang akan menikah dengan
anak sepersusuannya.
f. Tidak semenda (mushoharoh)
Artinya kedua calon suami-istri tidak mempunyai
hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibu dan menantu,
anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan
ibu/bapak.18
Selain syarat yang dikemukakan di atas, maka ada syarat-syarat
khusus bagi seorang wanita yang nantinya akan menjadi ibu rumah
tangga sesaat setelah melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat
khusus itu ialah :
a. Pihak pria tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat
orang ketika akan melangsungsungkan perkawinan. Kalau pria
itu telah beristri 4 orang, maka perkawinan yang ke 5 tidak sah.
b. Perkawinan poligami tidak boleh dirangkap antara istri yang
masih ada hubungan darah dengan calon istri berikutnya, seperti
kakak beradik dalam bersamaan menjadi istri-istri seorang pria.
18 R. Abdul Djamali, Op. Cit. Hal. 79-81.
30
c. Tidak ada perceraian “li`an”, artinya antar suami-istri terdahulu
tidak bercerai karena sumpah sebagai akibat suami menuduh istri
berbuat serong atau tuduhan istri bahwa suami berbuat serong.
Kalau tuduhan tidak terbukti dan tidak mempunyai saksi lengkap,
maka penyelesaian tuduhan terhadap para pihak harus bersumpah
sebanyak empat kali dan sumpah yang kelima dilakukan dengan
memohon kutukan bagi yang berbohong. Setelah sumpah itu
selesai diucapkan di hadapan sidang Pengadilan Agama maka
hakim akan memutuskan cerai li`an untuk selama-lamanya. Dan
mereka tidak boleh melakukan perkawinan kembali antar
sesamanya.
d. Calon pengantin wanita tidak dalam ikatan perkawinan.
Artinya kalau ia masih dalam hubungan perkawinan walaupun
tidak seatap atau tidak diketahui domisili suaminya, maka tidak
boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang pria lain. Dan
dalam keadaan lepas bergaul (scheiding van tafel en bed) pun
harus ada perceraian dahulu karena statusnya masih seorang istri.
e. Calon istri tidak dalam masa iddah, artinya ia tidak dalam jangka
waktu tunggu. Dan dalam jangka waktu tunggu itu terdiri atas :
• Ditinggal suami karena meninggal dunia selama 4 bulan 10
hari tidak dalam keadaan hamil. Kalau ada tanda kehamilan
sejak ditinggal suami, maka harus menunggu kelahiran
bayinya.
31
• Cerai biasa, iddahnya tiga kali suci bagi wanita yang masih
menstruasi. Kalau wanita itu hamil, maka iddahnya sesudah
melahirkan.
• Iddah tiga bulan lamanya bagi seorang wanita yang telah
berhenti menstruasi. Sedangkan bagi wanita yang belum
pernah melakukan hubungan seksual dalam perkawinannya,
maka tidak ada iddah.
Hikmah dari iddah ini sebenarnya untuk menentukan kebersihan
wanita selama menjadi ibu rumah tangga, sehingga kalau melahirkan
anak setelah putusnya perkawinan akan menjadi keyakinannya
bahwa anak itu sebagai keturunannya.
2.2. Rukun-rukun Perkawinan
Yang dimaksud dengun rukun ialah segala sesuatu yang
ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat
perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat
perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan
perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu
dipenuhi. Adapun rukun perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam. Di dalam Pasal 14 disebutkan bahwa untuk melaksanakan
perkawinan harus ada :
1. Calon Suami dan Calon Istri
32
2. Wali Nikah
3. Dua Orang Saksi dan
4. Ijab dan Qabul
Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan sebagai
berikut :
1. Calon Suami dan Calon Istri
Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut
dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita
yang merupakan para pihak yang akan melangsungkan
perkawinan.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah :
a) Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.
Pasal 15 KHI memberikan ketentuan mengenai hal ini :
(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga,
perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang
telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU
No.l Tahun 1974 yaitu calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
(2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 harus
mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2).
(3), (4) dan (5) UU No. l Tahun 1974.
33
b) Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani
maupun rohani.
c) Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan
kedua belah pihak.
Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa :
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan
atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak
ada penolakan yang tegas.
Pasal 17 KHI menyebutkan bahwa :
(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan, Pegawai Pencatat
Nikah menyatakan lebih dulu persetujuan calon mempelai
di hadapan dua saksi nikah.
(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu
calon mempelai maka perkawinan tidak dapat
dilaksanakan.
(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau
tuna. rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan
atau isyarat yang dapat dimengerti.
d) Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan
perkawinan, tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana
diatur dalam Pasal 18 Bab IV KHI.
34
Halangan pertama yang menyangkut larangan perkawinan
dengan seorang wanita yang haram dinikahi dalam Islam, yaitu :
􀂾 Wanita yang haram dikawini untuk selama-lamanya.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 39 KHI :
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita disebabkan :
a. Karena hubungan darah atau nasab :
(1) Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang
menurunkannya atau keturunannya.
(2) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu.
(3) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
b. Karena hubungan semenda
(1) Dengan wanita yang melahirkan istri atau bekas
istrinya.
(2) Dengan wanita bekas istri orang yang
menurunkannya.
(3) Dengan wanita keturunan istri atau bekas istrinya,
kecuali putusnya perkawinan dengan bekas istrinya
itu qobla al dukhul.
(4) Dengan wanita bekas istri keturunannya.
c. Karena hubungan sesusuan
(1) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya
menurut garis lurus ke atas.
35
(2) Dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis
lurus ke bawah.
(3) Dengan wanita saudara sesusuan, dan kemenakan
sesusuan ke bawah.
(4) Dengan wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan
ke atas.
(5) Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya.
􀂾 Wanita yang haram dikawini untuk sementara waktu (tahrim
muwaqqat). Maksudnya adalah larangan untuk
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita dalam
suatu waktu tertentu karena adanya sebab yang
mengharamkan. Apabila sebab tersebut kemudian hilang
maka perkawinan boleh dilaksanakan. Wanita yang termasuk
dalam golongan ini adalah
- Pasal 40 KHI
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dan seorang wanita karena keadaan tertentu :
(a) Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain.
(b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah
dengan pria lain.
36
(c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.
- Pasal 41 KHI (1)
1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan
seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian
nasab atau sususan dengan istrinya :
(a) Saudara kandung, seayah seibu serta
keturunannya.
(b) Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku
meskipun istri-istnnya telah ditalak raj`i tetapi masih
dalam masa iddah.
- Pasal 42 KHI
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4
(empat) istri yang keempat-empatnya masih terikat tali
perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun
salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa talak raj`i.
- Pasal 43 KHI
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang
pria :
a. Dengan seorang istrinya yang ditalak tiga kali.
37
b. Dengan seorang wanita bekas istrinya yang
dili`an.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur, kalau
bekas istrinya telah kawin dengan pria lain, kemudian
perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah
habis masa iddahnya :
- Selanjutnya Pasal 44 KHI di Indonesia menyatakan bahwa
seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan
dengan seorang laki-laki yang tidak beragama Islam.
2. Wali Nikah
Dari sekian banyak syarat-syarat dan rukun-rukun untuk
sahnya perkawinan menurut Hukum Islam, wali nikah adalah hal
yang sangat penting dan menentukan.
Wali ialah orang yang berhak menikahkan anak perempuan
dengan pria pilihannya.
Mengenai masalah perwalian, di Indonesia menganut
ajaran Syafi`i yang mengatakan perlu adanya wali nikah bagi
pihak wanita, dan wali merupakan salah satu rukun yang harus
ada dalam perkawinan. Tanpa adanya wali nikah maka
perkawinan tidak sah. Dasar hukum yang dipergunakan adalah :
a. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan
Daruquthni, berbunyi :
38
“Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang
lain dan jangan pula menikahkan perempuan akan
dirinya sendiri”
b. Hadist Nabi riwayat HR Ahmad, berbunyi :
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua saksi
yang adil”
Ketentuan mengenai pentingnya wali dalam
melangsungkan perkawinan juga lebih dipertegas dengan
ketentuan Pasal 19 KHI, yang di dalamnya disebutkan bahwa :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang
harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya”
Karena kedudukannya yang sangat penting dan
menentukan, maka tidak sembarangan orang dapat menjadi wali
nikah. Pasal 20 ayat (1) KHI menyebutkan bahwa yang bertindak
sebagai wali adalah laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam, yaitu muslim, aqil dan baligh.
3. Saksi
Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi`i
adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam
perkawinan sangat diperlukan antara lain :
Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan
mendengarkan ijab kabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya
39
memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar
dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan
tegas tidaknya ijab kabul diucapkan.
Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum
Islam mengenai persaksian dalam perkawinan adalah Hadist Nabi
sebagai berikut :
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil”.
Dengan Hadist Nabi selain wali diperlukan juga kehadiran
dua orang saksi untuk sahnya perkawinan. Dan kedua orang saksi
dibawa oleh masing-masing pihak asalkan memenuhi syarat-syarat
seperti yang diwajibkan kepada wali. Dua orang saksi hendaknya
laki-laki; tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya
jumlahnya harus 4 orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu
kalau dililiat dari makna anak kalimat terakhir dari Surah (2) Al-
Baqarah ayat 228 yang menyatakan : “Perempuan itu mempunyai
hak yang sama dengan laki-laki, tetapi laki-laki mempunyai derajat
yang lebih tinggi dari perempuan. Melalui pernyataan inilah
ditetapkan perbandingan saksi laki-laki dan perempuan, adalah 2:4
kalau perempuan dimintakan menjadi saksi dalam suatu
perkawinan.
Lebih lanjut, Imam Abu Hanifah mengqiaskan persaksian
dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah. Tetapi
40
karena akad nikah dipandang lebih utama daripada akad muamalah,
maka secara otomatis saksi dalam nikah menjadi lebih utama dan
sangat diperlukan daripada saksi-saksi lainnya dalam akad
muamalah. Ketentuan mengenai saksi ini termuat dalam Pasal 24
KHI, yaitu :
(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan
akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Selanjutnya Pasal 25 KHI menemukan syarat-syarat seorang saksi :
a. Muamalaf.
b. Muslim
c. Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang
diucapkan pada waktu akad nikah. Saksi yang tuna rungu dan
tuna wicara dapat menjadi saksi asal dapat memahami dan
mengerti apa yang yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
berakad.
d. Adil, yaitu orang yang taat beragama atau orang yang
menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang
dilarang oleh agama. Menurut Imam Syafi`i, syarat adil bagi
seorang saksi adalah merupakan keharusan, sedangkan menurut
Imam Hanafi, saksi tidak harus adil. Beliau membolehkan orang
fasiq menjadi saksi, asal dengan kehadirannya dapat tercapai
tujuan adanya saksi dalam akad nikah.
41
e. Saksi minimal dua orang laki-laki, jika ternyata tidak ada dua
orang saksi laki-laki, maka boleh dihadiri satu orang saksi lakilaki
dan dua orang saksi wanita .Ketentuan ini didasarkan
firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 282 yang
artinya berbunyi :
“Dan persaksikanlah dengan luar orang saksi dari orang
laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dengan dua orang
wanita dan saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang seorang
lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya”
Dalam Pasal 26 KHI disebutkan bahwa saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani
akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
4. Akad Nikah (Ijab dan Qabul)
Akad nikah adalah pernyataan sepakat dan pihak calon
suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka ke
dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah,
yaitu perkataan atau ucapan-ucapan yang diucapkan oleh calon
suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul
Ijab ialah pemyataan penyerahan dari pihak wanita yang
biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya
dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan
dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pemyataan
penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas
42
ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai
pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi istrinya
yang sah.
Ijab Kabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda) dan tidak
meragukan para saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke kabul
sekitar 1-2 detik. Kalau jarak waktu itu tidak dipenuhi atau calon
pengantin pria diam, merenung atau masih memikir-mikir,
akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat juga
terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria
gemetar, gugup atau berdebar sebelum mengucapkan kabul. Dan
untuk pengulangannya calon pengantin pria harus ditenangkan
dahulu supaya kabulnya diucapkan dengan mantap dan
meyakinkan.
Mengenai pelaksanaan ijab kabul, Kompilasi Hukum Islam
tetap menjatuhkan pilihan :
- tetap bersifat “majelis” secara berhadapan langsung.
- apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasar surat kuasa
tanpa mengurangi hak wanita untuk menolak.19
Memperhatikan ketentuan Pasal 29 KHI, tidak membenarkan
pelaksanaan ijab kabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi.
Dalam hal calon mempelai berhalangan, KHI memilih alternatif
dengan seorang kuasa.
19 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU Nomor 7 Tahun
1989, Edisi Kedua, Sinar Grafika, 2001, Hal. 40
43
Lafaz nikahnya sebagai berikut :
Wali akan menyatakan : Saya nikahkan A bin R dengan anak saya
B binti S dengan maskawin Rp.12.500,00 tunai. Calon suami (A)
segera mengucapkan kabul begitu selesainya kata terakhir dari ijab
wali dengan : Saya terima nikahnya B binti S dengan maskawin
Rp.12.500,00 tunai.
Lafaz nikah ini tidak perlu diulang lagi kalau benar-benar
diucapkan dengan tepat, tegas, dan jelas yang kesemuanya
dinyatakan oleh para saksi setelah selesai ijab kabul diucapkan.
Berarti bahwa para saksi tidak meragukan ijab kabul itu. Dari lafaz
nikah ini terdapat kata-kata mengenai maskawin, ialah pemberian
mutlak pengantin pria kepada pengantin wanita. Pemberian itu
dilakukan sesaat sebelum upacara ijab kabul. Di dalam perkawinan
Islam tidak ditetapkan batas pemberian mutlak yang harus
dilakukan baik mengenai jumlah, nilai, maupun bentuknya. Tetapi
walaupun demikian maskawin itu selalu merupakan benda yang
mempunyai nilai sebagai tanda kasih dan menjadi hak milik mutlak
pengantin wanita setelah diserahkan.
Selain itu dilarang pemberian maskawin yang ditentukan
jumlahnya dan tidak terjangkau oleh pada umumnya anggota
masyarakat misalnya maskawin 30 ekor kerbau atau 10 kg emas.
44
Agar sighat akad nikah tersebut sah, maka harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai :
Pasal 28 KHI menyebutkan bahwa akad nikah
dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang
bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 29 KHI mengatur bahwa :
(1) Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai sccara
pribadi.
(2) Dalam hal-hal tenentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan
kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria
memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan
wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.
(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon
mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh
dilangsungkan.
Kalau syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan itu telah
dipenuhi, maka sahlah perkawinannya dan para pihak saat itu
berubah status sebagai suami-istri. Mereka hidup dalam satu
kesatuan yang dinamakan keluarga. Dan sejak saat itulah timbul
hak dan kewajiban sebagai suami-istri.
3. Dasar-Dasar Perkawinan Menurut Hukum Islam
Didalam Pasal 2 KHI landasan filosofis perkawinan itu berisi :
45
a. Perkawinan semata-mata menaati perintah Allah
b. Melaksanakan perkawinan adalah ibadah
c. Ikatan perkawinan bersifat miitsaaq an gholidzan (Surat An Nisaa :
21).20
Dalam penegasan di atas dirangkum secara terpadu antara akidah,
ubudiyah dan muamalah, berkaitan langsung didalamnya antara segi
huququllah dengan huququl i’ibad.
Didalam Pasal 3 KHI mempertegas dan memperluas kearah nilainilai
yang mengandung Islami seperti yang digariskan dalam Q.S Ar Rum :
21, dalam Pasal 3 KHI sepenuhnya dipergunakan simbol nilai-nilai ruh
keislaman, yakni sakinah, mawaddah, dan rahmah, maka dengan sendirinya
sudah terkait secara langsung nilai-nilai operasional yang diatur dalam :
- Q.S Al Baqarah : 187 : huna libasun lakum wa antum libasun lahunna.
- Q.S An Nisaa : 19 : wa’asyruuhunna bil ma’ruf.
- Sabda Rasul : Hendaklah saling nasihat-menasehati dengan baik dalam
kehidupan rumah tangga (kaum wanita) dengan baik.21
Perkawinan merupakan perjanjian, dalam Al Qur'an Surat An Nissa
ayat 21, dinyatakan bahwa perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat
disebut dengan kata-kata “Miitsaaghan ghaliizhan”, oleh sebab itu ada
tahap-tahap yang dilalui oleh pria dan wanita sebelum mereka mengikatkan
dirinya dalam suatu perkawinan yaitu :
1) Perkenalan
20 M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 38
21 M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 38-39
46
Menurut Hukum Islam, perkenalan diantara muda mudi berbeda
dengan adat kebiasaan setempat. Perkenalan yang dilakukan antara muda
mudi tersebut harus diketahui oleh orang tua kedua belah pihak dan tidak
boleh dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam Islampun telah
mengajarkan apabila seorang pria bertandang ketempat seorang wanita,
maka harus ada pihak ketiga diantara mereka sehingga mereka tidak
hanya berduaan saja. Hal ini dirasakan perlu dilakukan untuk menjaga
agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian
hari.
Adapun tujuan dari perkenalan ini adalah tidak lain untuk
mengetahui dari dekat pribadi masing-masing kedua belah pihak. Selain
itu yang lebih diutamakan dari perkenalan itu adalah untuk mengetahui
masalah agama masing-masing pihak demi kehidupan yang sejahtera
lahir batin, karena seseorang yang kuat agamanya insya Allah dapat
membimbing keluarganya menuju jalan yang diridhoi oleh Allah SWT.
Banyak hal yang harus diwaspadai dalam tahap perkenalan,
sebab tidak semua orang dapat berlaku jujur terhadap pasangannya.
Kebanyakan orang cenderung hanya memperlihatkan sisi baik dari
dirinya agar dapat menutup segala kekurangan yang ada pada dirinya.
Untuk mengambil suatu keputusan mengenai jodoh yang akan
kita pilih, maka kita harus meminta petunjuk kepada Allah SWT semata,
sehingga apa yang menjadi pilihan kita akan membawa kebaikan di
47
kemudian hari. Setelah mendapat petunjuk mengenai jodoh yang cocok
untuk kita, maka barulah diadakan dengan apa yang disebut meminang.
2) Peminangan
Membentuk suatu keluarga tidak semudah seperti yang
dilakukan dalam muamalat walaupun perkawinan merupakan suatu aqad.
Tetapi pengertian aqad perkawinan dibangun dalam suatu proses
kegiatan yang terus-menerus berlangsung.
Dari pengertian ini dan dalam kaitannya dengan aqad
menunjukkan bahwa ikatan hukum yang dibentuk berlangsung terus
menerus seumur hidup dengan menghalalkan pergaulan dalam
membatasi hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Untuk mewujudkan ikatan hukum yang berlangsung terus-menerus itu
diperlukan suatu ketelitian dengan berpegangan kepada dasar pikiran
yang menjadi pokok pangkal dalam pembentukan keluarga melalui suatu
perkawinan.
Ketelitian memilih dan menetapkan calon sebagai pasangan
hidup itu tugasnya terletak di tangan pihak pria. Suatu pilihan akan
menghasilkan yang baik kalau dilaksanakan melalui proses meneliti
secara mendalam mengenai tingkah laku dan kehidupan sehari-hari dari
yang dipilih. Alasannya karena hidup berumah-tangga itu tidak dalam
waktu singkat melainkan berlangsung selama hidup di dunia dan akhirat.
48
Di samping itu kalau dilihat dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak
semua orang dapat mengatur rumah tangga secara baik.
Karena itu sebelum melangsungkan niat berumah-tangga terlebih dahulu
perlu memahami seluk beluk kehidupan wanita yang baik. Dan wanita
yang baik kalau dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan rumah tangga
bersama.
Petunjuk Nabi Muhammad mengemukakan ada tiga ciri yang dimiliki
wanita baik yaitu :
1. Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tarmidzi
menyatakan:
“Sesungguhnya wanita itu dinikahi orang karena agamanya,
hartanya, dan kecantikannya, maka pilihlah yang beragama”.
2. Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasai menyatakan:
“Kawinlah dengan orang yang dikasihi dan berkembang”.
3. Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Jamaah ahli Hadist menyatakan :
“Alangkah baiknya jika engkau kawin dengan perawan, engkau
dapat menjadi hiburannya dan diapun menjadi hiburan bagimu”.
Sesuai dengan prinsip perkawinan berdasarkan ajaran agama
Islam antara lain disebutkan bahwa perkawinan tidak hanya terjadi untuk
suatu waktu tertentu (sementara) melainkan perkawinan itu
dilangsungkan adalah untuk selamanya. Oleh sebab itu apabila seorang
pria berhasrat untuk menikah dengan orang wanita, maka pinanglah ia
baik secara langsung maupun secara melalui perantaraan pihak ketiga.
49
Islam memberikan pedoman tentang meminang. Dan untuk
memenuhi pedoman tersebut, maka diperlukan beberapa syarat tertentu
yang harus dipenuhi, yaitu antara lain adalah sebagai berikut :
a. Syarat Mustahsinah (Bersifat Anjuran)
- Antara suami istri hendaklah sederajat (dalam arti luas)
- Hendaklah wanita yang akan dipinang adalah wanita yang periang
dan ramah
- Jangan mempunyai hubungan darah yang dekat
- Harus memperhatikan sifat, tabiat dan watak dari yang dipinang
atau sebaliknya dari yang meminang
b. Syarat Lazimah (Bersifat Keharusan)
- Wanita yang akan dipinang tidak dalam status perkawinan yang sah
- Wanita itu tidak sedang menjalankan masa iddah raj`i
- Tidak boleh meminang wanita yang sedang dipinang pria lain,
kecuali pria yang pertama ditolak oleh pihak wanita
Apabila pinangan seorang pria telah diterima seorang wanita,
maka antara pria dan wanita itu telah mengadakan janji untuk
melaksanakan perkawinan dikemudian hari. Pada masa ini antara pria
dan wanita belum boleh bergaul seperti suami istri, karena mereka belum
terikat oleh tali perkawinan. Dalam masa menunggu ini ada hal-hal yang
harus diperhatikan karena masa ini dipergunakan sebagai :
50
(a) Pemantapan mental kedua belah pihak yaitu mengenai budi pekerti
maupun untuk memperbaiki diri.
(b) Masa untuk mematangkan umur hingga keduanya sudah siap fisik
maupun psikis dalam membentuk rumah tangga sehingga tidak
dikhawatirkan akan terjadi cekcok atau perceraian diantaranya.
Terkadang orang yang meminang memberikan hadiah-hadiah
sebagai penguat ikatan untuk memperkokoh hubungan baru antara kedua
belah pihak. Memenuhi janji untuk melaksanakan perkawinan adalah
kewajiban bagi kedua belah pihak, namun apabila terjadi sesuatu antara
peminang dan yang dipinang maka akan menimbulkan berbagai akibat
antara lain :
(a) Apabila pihak pria yang memutus pertunangan tersebut, maka
hadiah-hadiah (panjer atau peningset) yang telah diberikan kepada
pihak wanita akan menjadi hilang atau dengan kata lain pihak wanita
tidak berkewajiban untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya dari pihak pria sebelum adanya pemutusan pertunangan
(b) Apabila pihak wanita yang memutus pertunangan tersebut, maka
hadiah-hadiah (panjer atau peningset) yang telah diberikan oleh
pihak pria harus dikembalikan bahkan terkadang harus
mengembalikannya dua kali lipat dari apa yang sudah diterimanya
51
4. Tujuan perkawinan
Tujuan perkawinan disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam
pada Pasal 3, yaitu : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”.
Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum Islam terdiri dari :
1. Berbakti kepada Allah;
2. Memenuhi atau mencukupkan kodrat hidup manusia yang telah menjadi
hukum antara pria dan wanita itu saling membutuhkan.
3. Mempertahankan keturunan umat manusia;
4. Melanjutkan perkembangan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria
dan wanita;
5. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antar golongan
manusia untuk menjaga keselamatan hidup.22
Kelima tujuan perkawinan ini didasarkan kepada Al-Qur`an Surah
(30) Ar-Rum ayat 21 yang menyatakan bahwa “Ia jadikan bagi kamu dan
jenis kamu, jodoh-jodoh yang kamu bersenang-senang kepadanya, dan Ia
jadikan di antara kamu percintaan dan sesungguhnya hal itu menjadi bukti
bagi mereka yang berpikir”.
Karena itu para pihak perlu meneliti lebih dahulu lain jenisnya
sebelum melangsungkan perkawinan terutama mengenai agama dan
keimanannya, moralitas, keturunan, keelokan dan daya pikirnya. Meneliti
lebih dulu termasuk unsur penting, karena agama dan iman merupakan
22 R. Abdul Djamali, Op. Cit, Hal. 75
52
unsur pokok yang dapat menentukan kelangsungan hidup baik dalam
keluarga. Maksudnya bahwa tidak ada keluarga yang tidak mengalami
perbedaan pendapat bahkan konflik antar suami-istri kadang-kadang terjadi.
Kalau dasar agama dan keimanan tidak mantap, maka suatu konflik yang
terjadi mungkin dapat berakibat timbulnya perceraian. Sedangkan penelitian
dari segi lainnya dimaksudkan agar tingkah laku dalam kehidupan seharihari
dapat dinilai baik oleh masyarakat, karena keturunan yang baik dan
pandai akan membawa kebaikan dalam pergaulan. Para sarjana hukum
memandang perkawinan Islam itu sebagai berikut :
a. Baleh atau Mubah. yaitu setiap pria dan wanita Islam boleh memilih mau
menikah atau tidak menikah. Maksudnya bagi seorang pria atau wanita
kalau memilih tidak menikah, maka dirinya harus dapat menahan godaan
dan sanggup memelihara kehormatannya.
b. Sunnat. maksudnya bagi seorang pria atau wanita yang ingin hidup
sebagai suami-istri sebaiknya menikah, karena dengan menikah bagi
mereka akan mendapatkan pahala, tetapi tidak berdosa kalau memang
ingin tetap hidup tanpa suatu perkawinan.
c. Wajib maksudnya kalau seorang pria atau seorang wanita sudah ada
keinginan hidup sebagai suami-istri, maka kewajiban mereka supaya
segera melangsungkan perkawinan. Berdosalah kalau tidak segera
dilakukan. Sedangkan bagi orang tuanya yang telah mengetahui
keinginan itu tidak boleh menghalang-halangi apalagi membatalkan,
sebab perbuatannya berdosa.
53
d. Haram. maksudnya kalau seorang pria atau seorang wanita menjalankan
suatu perkawinan dengan niat jahat seperti menipu, memeras atau ingin
membalas dendam, maka perbuatannya itu haram karena tujuan
perkawinan bukan untuk melaksanakan suatu kejahatan.23
II. Tinjauan Tentang Wali Nikah
1. Pengertian Wali Nikah
Menurut Prof Abdullah Kelib, wali di dalam perkawinan adalah
orang yang bertanggung jawab atas perkawinan yang dilaksanakan
dibawah perwaliannya, sehingga perkawinan tidak dianggap sah apabila
tidak terdapat wali yang menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai
pria.24 Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa ijab didalam
perkawinan menurut Hukum Islam adalah wewenang wali semata-mata.
Sehingga karena peranan wali yang mempunyai arti penting akan tetap
dipertahankan apabila wanita itu tidak mempunyai wali nasab bisa
digantikan kedudukannya oleh wali hakim.
1.1. Pengertian Wali Menurut Hukum Islam
Ada beberapa pendapat mengenai pentingnya wali sebagai
syarat untuk sahnya nikah menurut Hukum Islam. Hal ini sudah lama
menjadi bahan diskusi para ahli ilmu fiqh sejak lahirnya mazhab
Syafi`i dan mahzab Hanafi. Mahzab Syafi`i mengatakan bahwa wali
adalah salah satu syarat untuk sahnya nikah, sedangkan mahzab
23 R. Abdul Djamali, Op. Cit, Hal. 75-76
24 Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990, Hal 11
54
Hanafi mengatakan bahwa wali adalah sunnah hukumnya, seperti
yang terdapat dalam Firman Allah SWT Surat Al Baqarah ayat 234,
dikatakan bahwa akad nikah yang dilakukan oleh wanita dan segala
sesuatu yang dikerjakannya tanpa menggantungkannya kepada wali
atau izinnya adalah sah. Berdasarkan ayat tersebut Hanafi
memberikan hak sepenuhnya kepada wanita mengenai urusan dirinya
dengan meniadakan campur tangan orang lain dalam hal ini adalah
campur tangan seorang wali berkenaan dengan masalah perkawinan.
Pertimbangan rasional logis inilah yang membuat Hanafi
mengatakan tidak wajibnya wali nikah bagi wanita yang hendak
menikah.25
Namun pada umumnya umat Islam di Indonesia menganut
paham mahzab Syafi`i. Menurut mazhab Syafi`i wali merupakan
masalah penting sekali dalam pembahasan nikah karena tidak ada
nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat bagi sahnya suatu nikah.
Alasan pendapat ini diantaranya yaitu hadist Nabi riwayat Turmudzi
dari Aisyah yang menyatakan bahwa “Perempuan yang menikah
tanpa izin walinya maka nikahnya batal (sampai tiga kali Nabi
mengatakan nikahnya batal)”. Selain itu ijab menurut lazimya dalam
suatu akad nikah diucapkan oleh wanita, jadi mempelai wanitalah
yang menawarkan dirinya untuk dinikahkan dengan seorang pria.
Oleh karena wanita fitrahnya adalah pemalu, maka ia harus diwakili
25 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996, Hal. 218-220.
55
oleh orang tuanya atau wakilnya yang bertindak sebagai wali
nikahnya.
Alasan lain yang menjadikan keberadaan wali menjadi
sangat peating adalah dengan adanya perbedaan antara pria dan
wanita.Umumnya wanita kurang mempunyai daya tahan terhadap
rasa sakit, sehingga dalam keadaan takut kadang-kadang sakit yang
dirasakan lebih ringan dari yang ditanggung pria. Selain itu dalam
berbagai persoalan, wanita lebih cenderung kepada taqlid disamping
lemah dalam memahami berbagai persoalan global. Berdasarkan
berbagai perbedaan tersebut dapat dikatakan bahwa wanita
cenderung takut untuk bertanggung jawab dan merasa memang perlu
untuk tunduk kepada pria karena pada dasarnya pria merupakan
panutan, pemimpin dan pelindun wanita. Pria diberi kelebihan untuk
dapat menyelesaikan segala persoalan hidup jauh lebih besar dari
wanita, dan juga mempanyai wawasan, kekuatan dan keberanian.
Seperti firman Allah SWT dalam Surat An-Nisaa ayat 32 yang
artinya berbunyi:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang telah
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain (karena) bagi prang
laki-laki ada sebahagian daripada apa yang mereka
usahakan, dan bagi wanita(pun) ada sebahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonkan kepada Allah
sebahagian dari Karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu
56
Hal inilah yang membuat wanita membutuhkan seorang
laki-laki sebagai walinya dalam melangsungkan perkawinan yang
dapal membantunya dalam menyelesaikan segala permasalahan yang
mungkin timbul di kemudian hari.
Perwalian di dalam istilah fiqh dinamakan juga wilayah
yang mempunyai makna penguasaan dan perlindungan. Dengan
demikian menurut fiqh arti dari perwalian yaitu. :“Penguasaan penuh
yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang”. 26
Dari berbagai macam perwalian yang ada, maka penulis
akan membatasi masalah mengenai perwalian atas orang dalam
perkawinan yang di dalamnya juga menyangkut tentang kedudukan
dan tugas wali dalam perkawinan.
Pengertian wali nikah yaitu orang laki-laki yang dalam
suatu perkawinan berwenang mengijabkan perkawinan colon
mempelai perempuan. Sebagai dasar hukumnya dapat dilihat dalam
Al Qur'an dan Al Hadist, yaitu antara lain :
1) Firman Allah dalam surat An Nur ayat 32 yang artinya
berbunyi:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara
kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hambahamba
sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah
akan memampukannya mereka dengan karunianya. Dan
Allah Maha Luas pemberiamiya lagi Maha Mengetahui”.
26 Soemiyati, Op. Cit, Hal. 41.
57
2) Hadist riwayat Ibnu Majah dan Daruquthni yang artinya :
“Janganlah menikahkan seorang perempuan akan
perempuan lain, dan jangan pula menikahkan seorang
perempuan akan dirinya sendiri”.
3) Hadist riwayat Ahmad dan Al Arba'ah dan Abu Hurairah
melalui sabda Rasulullah SAW yang artinya :
“Tidak sah akad nikah kecuali dengan adanya seorang wali
nikah”.
4) Hadist riwayat Al Ar Ba`ah kecuali An Nasa`i dari Aisiyah
bahwa rasulullah SAW bersabda yang artinya :
“Perempuan yang nikah tanpa wali maka nikahnya menjadi
batal. Jika suaminya mengumpulinya, maka perempuan ini
berhak menerima mahar karena suaminya telah mengambil
kehalalan farjinya. Jika mereka itu bersengketa, maka
penguasalah yang menjadi wali wanita yang tidak ada
walinya”.
Dari sudut pandang sosiologis wanita mempunyai
kedudukan yang sama dengan pria, demikian juga di mata hukum.
Namun kerendahan serta kekurangan wanita itu sendiri membuat
mereka terbatas dalam bertindak, seperti halnya dalam perkawinan
menurut agama Islnm. Oleh sebab itu untuk mengetahui dan
mengerti kedudukan wanita, selain mempelajari hukum dan
peraturan yang berlaku kita juga harus mempelajari tentang
kedudukan wanita dalam masyarakat dan keluarga.27
27 Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, LP3ES, Jakarta, 1989, Hal.
52.
58
Selain perbedaan dari segi fisik maupun psikis antara
mereka, wanita oleh keluarganya dimisalkan sebagai perhiasaan yang
harus dijaga dengan sebaik-baiknya, yang nilainya sangat berharga,
lebih berharga dari perhiasan dunia yang berbentuk harta benda.
Oleh karena itu untuk melepaskan seorang anak perempuannya
menuju suatu perkawinan, orang tua dalam hal ini adalah ayah
ataupun wali lainnya yang berhak merasa berkepentingan untuk
menyerahkan anak perempuannya tersebut dengan cara menjadi wali
yang akan melakukan ijab dengan calon mempelai pria.
Pentingnya wali bagi wanita dalam akad nikah, selain
karena merupakan perintah agama juga disebabkan karena wanita
adalah makhluk yang mulia, makhluk yang memiliki beberapa hak
yang telah disyariatkan oleh sang pencipta dan mempunyai satu
kedudukan yang dapat menjaga martabat, kemanusiaan dan
kesuciannya serta merupakan wujud cinta kasih seorang ayah atau
keluarganya kepada anak perempuannya yang akan membina suatu
rumah tangga.
Bertitik tolak dari Firman Allah SWT. Hadist Rasulullah
dan realita yang ada dalam masyarakat seperti yang disebutkan diatas
maka disimpulkan bahwa kedudukan dan tugas wali nikah adalah
sangat penting artinya sekaligus mempunyai sifat menentukan di
dalam sah atau tidaknya suatu akad nikah.
59
Dengan demikian untuk dapat memberikan gambaran
mengenai pengertian wali dalam perkawinan sekaligus wali dalam
menikahkan kedua mempelai yang dalam ajaran agama Islam disebut
dengan Wali Nikah adalah dengan cara melihat pengertian wali
nikah menurut Hukum Islam, sebab di dalam ajaran agama selain
agama Islam terdapat perbedaan definisi mengenai wali nikah.
Di dalam Pasal 21 ayat (3) Peraturan Menteri Agama No.1
Tahun 1990 tentang Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata
Kerja Pengadilan Agama untuk melaksanakan peraturan perundangundangan
perkawinan bagi seseorang yang beragama Islam
disebutkan bahwa akad nikah dilakukan oleh wali atau diwakilkan
kepada PPN atau Pembantu PPN atau orang lain yang menurut PPN
atau Pembantu PPN dianggap memenuhi syarat. Dalam pasal 23
disebutkan bahwa waktu akad nikah, calon suami atau wali nikah
wajib menghadap PPN atau Pembantu PPN, dan dalam keadaan
memaksa kehadirannya dapat diwakilkan oleh orang lain yang
dikuatkan dengan surat kuasa yang disahkan PPN atau kepala
perwakilan Republik Indonesia bila berada di luar negeri.
Dengan adanya pasal-pasal tersebut diatas, maka dapat
dikatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 melalui PMA No.2 Tahun
1990 telah memberikan ketentuan tentang perlunya wali nikah bagi
calon mempelai wanita. Hal ini menjadi sangat penting karena
dengan secara tegas di dalam bunyi pasal tersebut di atas telah
60
disebutkan bahwa wali sendiri atau wakilnya (dalam keadaan
memaksa) yang melaksanakan akad nikah bagi mempelai wanita.
Kesemuannya itu menunjukkan suatu persamaan dengan ketentuan
yang terdapat dalam Hukum Islam, yaitu bahwa wali adalah
melaksanakan akad nikah bagi seorang wanita.
Persamaan dan peraturan perundangan ini dengan ketentuan
yang ada dalam Hukum Islam lebih jauh lagi ditunjukkan dari
ketentuan mengenai perwakilan bagi wali nikah, meskipun untuk
mengakad nikahkan mempelai wanita pada dasarnya wali nikah
sendiri harus hadir, namun apabila dalam keadaan memaksa hal
tersebut dapat dimungkinkan untuk diwakili oleh orang lain. Maka
dengan demikian perwakilan dalam wali nikah juga didapati dalam
peraturan ini.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka terdapat peraturan
lain sebagai peraturan pelaksanaan dari UU No.l Tahun 1974 tentang
perkawinan yang menyebutkan masalah wali nikah, yaitu Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 antara lain dalam Pasal 11 disebutkan
bahwa setelah perkawiana usai, maka kedua mempelai
menandatangani akta nikah yang kemudian juga ditanda tangani oleh
PPN dan wali nikahnya atau yang mewakilmya.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agama No.2
Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka Peraturan Menteri Agama
No.1 Tahun 1952 tentang Wali Hakim dan Peraturan Menteri Agama
61
No.4 Tahun 1952 tentang Wali Hakim untuk Luar Jawa Madura
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Di dalam Pasal 2 PMA No.2 Tahun 1987
1) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di Indonesia
atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia temyata
tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya
tidak memenuhi syarat, atau mafqud atau berhalangan atau adhal,
maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.
2) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1)
pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.
3) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali
dengan acara singkat atas permohonan calon mempelai wanita
dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.
Pasal 4 PMA No.2 Tahun 1987 menyebutkan :
(1) Kepala KUA kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah
ditunjuk menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya masingmasing
untuk menikahkan mempelai wanita sebagai
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (l) peraturan ini.
(2) Apabila di wilayah kecamatan, Kepala KUA kecamatan
berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan
Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama
62
Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu PPN untuk
sementara menjadi Wali Hakim dalam wilayahnya.
Dengan demikian menurut Peraturan Menteri Agama No.2
tahun 1987 apabila wali nasab tidak ada, tidak diketahui tempat
tinggalnya, sedang menjalankan hukumnannya, gaib, enggan untuk
menikahkan, maka yang ditunjuk sebagai wali hakim yaitu semua
Kepala KUA Kecamatan masing-masing diwilayahnya.
Hal-hal tersebut diatas merupakan beberapa peraturan
perundang-undangan dari Undang-Undang Perkawinan yang
berkenaan dengan wali yang memberikan ijin untuk melangsungkan
suatu perkawinan seka1igus menikahkan mempelai menurut ajaran
agama Islam.
1.2. Macam-Macam Wali
Mengenai masalah wali menurut ajaran hukum Islam hanya
pihak wanita sajalah yang memerlukan wali dalam melakukan
perkawinan dimana wali itu selalu laki-laki orangnya.
Adapun berbagai macam wali itu antara lain :
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 20 disebutkan :
Ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.
63
(2) Wali nikah terdiri dari 3 :
a. Wali nasab
b. Wali hakim
c. Wali muhakkam
a. Wali Nasab atau Kerabat
Nasab artinya bangsa menurut ajaran patrinial, nasab juga
diartikan keluarga dalam huhungan garis keturunan patrinial atau
hubungan darah patrinial. Wali nasah artinya anggota keluarga
laki-laki bagi calon pengantin perempuan yang mempunyai
hubungan darah patrinial dengan calon pengantin perempuan itu.
Yang termasuk ke dalam wali nasab ini yaitu sebagai berikut :
Mazhab Syafi`i memberikan urutan :
1. Bapak, kakek (orang tua bapak) dan seterusnya ke atas
2. Saudara laki-laki kandung sebapak seibu
3. Saudara laki-laki sebapak lain ibu
4. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
5. Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan
seterusnya
6. Paman, yaitu saudara dari bapak sekandung
7. Paman sebapak, yaitu saudara dari bapak sebapak lain ibu
8. Anak-anak paman kandung (saudara sepupu)
9. Anak laki-laki paman sebapak
64
Berdasarkan urutan seperti yang terdapat di atas dapat dikatakan
bahwa ayah adalah orang yang paling berhak menjadi wali bagi anak
perempuannya, dan apabila ayah tidak ada maka kedudukan ayah dapat
digantikan oleh wali yang lainnya berdasarkan urutan tersebut, namun
apabila yang berhak masih ada, maka yang lain tidak diperkenankan
menjadi wali.
Apabila yang berhak menjadi wali itu tidak memenuhi syarat,
misalnya gila dan sebagainya dengan demikian yang berhak menjadi
wali adalah wali yang berikutnya atau diserahkan kepada wali hakim.
Dengan perkataan lain bahwa apabila yang berhak itu berhalangan,
karena kafir, atau fasik ataupun belum dewasa, maka wali berikutnyalah
yang menjadi wali atau wali hakim. Wali nasab ini terbagi menjadi dua
macam :
1) Wali Mujbir
Wali mujbir ialah wali nasab yang berhak memaksa (ijbar)
gadis di bawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki
tanpa ijin dari gadis yang bersangkutan. Wali mujbir hanya terdiri
dan ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang
paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah
perwalianya, kecuali diri mereka itu tidak berhak ijbar.
Keberadaan lembaga wali mujbir di dalam hukum
perkawinan Islam ialah atas pertimbangan guna kebaikan gadis yang
akan dikawinkan, karena seringkali perempuan tidak pandai memilih
65
jodohnya dengan tepat. Jika gadis dilepas untuk memilih jodohnya
sendiri, dirasakan akan mendatangkan kerugian pada gadis di
kemudian hari. Misalnya dari segi pemeliharaan jiwa keagamaanya
dan lain sebagainya. Oleh karena itu wali mujbir yang mengawinkan
perempuan gadis di bawah perwalian tanpa izin dari gadis yang
bersangkutan disyaratkan :
a. Laki-laki pilihan wali harus kufu (seimbang) dengan gadis yang
dikawinkan.
b. Antara wali mujbir dan gadis tidak ada permusuhan.
c. Antara gadis dan laki-laki calon, suami harus tidak ada
permusuhan.
d. Calon suami harus sanggup membayar mas kawin dengan tunai.
e. Laki-laki pilihan wali akan dapat memenuhi kewajibankewajibannya
terhadap istri dengan baik dan tidak terbayang
akan berbuat yang mengakibatkan kesengsaran istri.
Syarat-syarat yang telah disebutkan di atas harus
diperhatikan bilamana wali mujbir akan menggunakan hak ijbamya
sehingga prinsip suka rela para pihak dalam melangsungkan
perkawinan tidak terlanggar. Apabila syarat-syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka gadis yang telah dikawinkan oleh walinya tanpa
persetujuan dirinya terlebih dahulu maka ia dapat meminta fasakh,
minta dirusakkan nikahnya kepada hakim.
66
2) Wali nasab biasa
Wali nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai
kekuasaan memaksa. Yang termasuk wali nasab biasa ialah saudara
lah-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, paman kandung serta
paman sebapak.
b. Wali Hakim
Seperti telah disebutkan sebelumnya, wali yang jauh
hubungan baru dapat menjadi wali apabila wali yang dekat
hubungannya sedang berhalangan, sakit atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya. Namun apabila tetap tidak terdapat
wali tersebut maka penguasaanya dapat diberikan kepada Sultan
(Kepala Negara) atau yang diberi kuasa oleh Kepala Negara. Di
Negara Republik Indonesia, Kepala Negara adalah Presiden yang telah
memberi kuasa kepada pembantunya yaitu Menteri Agama yang juga
telah memberi kuasa kepada para Pegawai Pencatat Nikah untuk
bertindak sebagai Wali Hakim. Yang dimaksud dengan Wali Hakim
adalah hakim pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Agama), yang
dimungkinkan dapat bertindak sebagai wali hakim, apabila memang
mendapat kuasa dari Kepala Negara cq Menteri Agama.
Dalam hal perwalian nasab atau kerabat dapat mengalami
perpindahan menuju kepada perwalian hakim, hal tersebut
dimungkinkan bilamana :
67
1. Wali nasab memang tidak ada
2. Wali nasab berpergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat tidak ada di tempat.
3. Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4. Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5. Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
6. Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini dapat terjadi jika yang dikawin adalah
seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung
atau seayah.
c. Wali Muhakkam
Di dalam suatu perkawinan, pada suatu saat tertentu jika wali
nasab tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai wali yang
dikarenakan tidak memenuhi syarat ataupun menolak dan wali
hakimpun tidak dapat bertindak sebagai wali nasab dengan berbagai
macam sebab. Oleh karena itu guna memenuhi syarat sahnya suatu
nikah bagi yang mengharuskan adanya wali, mempelai yang
bersangkutan dapat mengangkat seseorang untuk menjadi walinya
dimana wali yang terjadi karena diangkat oleh mempelai yang
bersangkutan tersebut disebut juga wali Muhakkam.
68
Wali muhakkam dapat dimungkinkan terjadi bilamana
seseorang yang beragama Islam menikah dengan seorang gadis yang
memeluk agama Kristen tanpa persetujuan dari orang tuanya.
Pada umumnya dalam masalah perwalian ini jarang ada wali
hakim yang mau bertindak sebagai wali bilamana wali hakim tersebut
tidak memperoleh kuasa dari orang tua mempelai perempuan. Maka
untuk dapat dilaksanakannya perkawinan yang sah diperlakukan
seorang wali Muhakkam.
1.3. Syarat-Syarat Wali
Telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya mengenai arti
macam- macam wali nikah serta-siapa-siapa saja yang dapat menjadi
wali nikah. Seseorang dapat sah menjadi wali nikah apabila
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut :
a. Baliqh
b. Berakal sehat, tidak gila
c. Merdeka
d. Laki-laki
Masalah penunjukkan seorang wali itu harus seorang laki-laki,
hal ini terdapat di dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah yang
mengatakan bahwa :
69
“Janganlah menikahkan perempuan akan perempuan lain
dan jangan pula menikahkan seorang perempuan akan
dirinya sendiri”.
e. Seorang Islam
Seorang wali nikah itu harus beragama Islam, hal ini didasarkan
dari Firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 51 yang
artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk menjadi
wali”,
dan surat Al Imron ayat 28 yang artinya berbunyi :
“Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang kafir
menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin”.
Di Negara Republik Indonesia, dalam hal wali yang beragama
Islam tersebut menyatakan beragama Islam sudah dipandang
cukup bertindak sebagai wali.
f. Ia tidak sedang ihram atau umrah
g. Harus adil.
2. Peranan Wali Nikah dalam Perkawinan dan Pengaruh Psikologi
Adanya Wali Nikah dalam Perkawinan
Menurut hukum Islam Perkawinan itu sah jika sudah memenuhi
syarat dan rukunnya, yang menjadi syarat perkawinan ialah adanya kata
sepakat diantara pihak-pihaknya, calon suami isteri sudah baliq atau
70
dewasa dan tidak ada hubungan atau halangan yang dapat merintangi
perkawinannya. Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan ialah adanya
calon, adanya wali nikah, adanya dua orang saksi dan adanya ijab qobul.
Jadi wali nikah merupakan salah satu rukun perkawinan.
Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali adalah
salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada
wali.28
Dengan berdasarkan pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i
itu, suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali
yang mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Karena
adanya wali dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan yang tidak
dapat ditinggalkan jika menghendaki sahnya perkawinan itu. Sehingga
jika mempelai wanita tidak mempunyai wali lagi, atau karena sesuatu hal
walinya tidak bisa mengijinkan, kedudukan wali dalam akad nikah tetap
dipertahankan dengan diganti oleh wali hakim.
Dengan demikian adanya wali nikah dalam perkawinan dapat
berperan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang
merugikan dalam kehidupan perkawinannya.29
Betapa besar artinya wali dalam perkawinan menurut Hukum
Islam,sehingga perkawinan itu tidak akan sah jika tidak disertai seorang
wali. Ijab yang diucapkan seorang dalam kedudukannya sebagai wali,
yang memegang peranan di dalam perkawinan yang dilangsungkan.
28 Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1964, Hal. 53
29 Abdullah Kelib, Op. Cit, Hal.8
71
Sebab ijab akad nikah hanya sah jika dilakukan oleh wali mempelai
wanita, kedudukan wali sangat penting ini dapat dipahami karena sejak
anak dalam kandungan hingga dilahirkan dan dibesarkan sampai ia
menjadi dewasa, adalah menjadi tugas dan tanggungjawab bagi orang tua
dan seorang anak banyak memerlukan pengorbanan dari orang tuanya
karena anak adalah merupakan amanah dan titipan dari Allah. Sehingga
sudah sepatutnyalah apabila seorang anak yang sudah dewasa dan hendak
memasuki pintu gerbang kehidupan berumah tangga hearuslah
mendapatkan ijin dan restu dari orang tuanya dan tidak begitu saja
meninggalkan orang tuanya, oleh karena itu pernyataan penyerahan
mempelai wanita kepada mempelai pria, yang diucapkan oleh ayah
dalam kedudukannya sebagai wali nikah didalam pelaksanaan acara ijab
qabul dapat dilambangkan sebagai akhir tugas yang berhasil dari orang
tuanya untuk memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil anak gadisnya
hingga menjadi dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga
sendiri. Dan dengan selesainya ijab qabul tersebut maka saat itu jugalah
tugas orang tua suda beralih kepada suaminya.
Jika kita dapat memahami keadaan tersebut di atas, maka kita
dapat pula menyimpulkan bahwa dengan dipenuhinya terlebih dahulu
syarat-syarat dan rukun perkawinan, sebelum perkawinan itu
dilaksanakan, yaitu khusus dalam hal adanya izin, adanya doa restu dan
adanya kesediaan wali calon mempelai wanita untuk melaksanakan ijab
didalam akad nikahnya. Kesemuanya itu membawa dampak pengaruh
72
psikologis yang berat untuk berlangsungnya kebahagiaan didalam
kehidupan rumah tangga yang bersangkutan. Karena seperti yang kita
ketahui semua bahwa sebelum manusia memasuki perhaulan hidup
didalam masyarakat luas maka ia berada dalam lingkungan keluarga,
dimana kemudian terjadilah pertumbuhan dari masa kanak-kanak hingga
menjadi dewasa, didalam pertumbuhan tersebut baik anak laki-laki
maupun anak perempuan, didalam dirinya berkembang pada hubungan
batin dengan keluarganya yang makin lama makin menebal, sehingga
dapat dikatakan bahwa seorang anak adalah merupakan pencerminan dari
orang tua.
Maka bagi gadis yang akan menikah membentuk rumah tangga
dengan calon suaminya, ia tidak melepaskan diri dari ikatan batin dengan
orang tuanya, ia membutuhkan dorongan batin untuk memulai kehidupan
baru bagi suami isteri, ia merasa memperoleh dorongan batin untuk
memulai kehidupan baru sebagai suami isteri, ia merasa memperoleh
kekuatan batih untuk melepaskan dengan orang tuanya sekaligus
memperoleh dorongan untuk membina rumah tangganya. Begitu pula
bagi pihak suami, ia merasa bahwa orang tua si gadis telah menyerahkan
si gadis kepadanya dengan penuh percaya, hal ini akan menimbulkan rasa
percaya diri sendiri dan rasa tanggungjawab yang besar untuk bertindak
sebagai suami yang bijaksana dan penuh pengertian. Hal-hal semacam
inilah yang merupakan pengaruh psikologis yang besar artinya untuk
mendorong terwujudnya rumah tangga yang kekal dan bahagia.
73
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metode dalam setiap penelitian hukum adalah menguraikan tentang cara
bagaimana suatu penelitian hukum itu harus dilaksanakan, namun demikian
menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan
sebagai berikut :
a. Suatu tipe pemikiran yang umum bagi ilmu pengetahuan
b. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
c. Cara-cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur30
Berdasarkan rumusan metode di atas, maka penulis dalam hal ini
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipergunakan yaitu pendekatan yuridis
empiris. Artinya pendekatan dari sudut kaidah-kaidah pelaksanaan peraturan
yang berlaku dalam masyarakat.
2. Spesifikasi Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang penulis ajukan, maka penulis
menggunakan metode penelitian Deskriptif Kualitatif. Penelitian deskriptif
adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin
tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya sedangkan penelitian
30 Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hal. 5.
74
kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data berupa
kata-kata, gambar-gambar serta informasi verbal atau naratik dan bukan dalam
bentuk angka.31
3. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian sesuai dengan judul dan maksud diadakannya
penelitian ini, maka lokasi yang akan penulis ambil dalam penelitian ini
adalah Kantor Urusan Agama Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.
4. Populasi dan Metode Sampling
Populasi adalah seluruh obyek atau individu atau seluruh gejala atau
seluruh unit yang diteliti.32 Populasi biasanya sangat besar dan luas, maka
cukup diambil sebagian saja untuk dapat diteliti sebagai sampel. Populasi
dalam penelitian ini adalah pegawai di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Polokarto dan pasangan suami isteri yang menikah di KUA tersebut. Metode
yang digunakan adalah Non Random Sampling, dalam hal ini yang dipakai
adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah sampel yang diambil
berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti, dimana persyaratan yang dibuat
sebagai kriteria harus dipenuhi sebagai sampel.33 Sebagai sampel penelitian
adalah pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Polokarto. Adapun
responden dalam penelitian ini adalah :
1. Kepala KUA Kecamatan Polokarto.
2. Pegawai KUA Kecamatan Polokarto.
31 Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hal. 10.
32 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Judimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, Hal.9
33 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, Hal.
31.
75
3. Mukadir dan Siti Harsanti (pasangan suami istri).
4. Agung Trihatmo dan Rini Prabandani (pasangan suami istri).
5. Metode pengumpulan Data
Data primer dan data sekunder dapat diperoleh melalui tata kerja
sebagai berikut :
a. Data Primer, pengumpulan data yang dilakukan dengan cara :
1) Mengadakan observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung
ke objek penelitian
2) Mengadakan wawancara secara struktur, maksudnya menggunakan
daftar pertanyaan sebagai pedoman kepada responden, dengan tujuan
untuk mengumpulkan sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh
dari sumber pertama. Dalam hal ini data diperoleh melalui penelitian di
KUA Polokarto Kabupaten Sukoharjo.
b. Data Sekunder
1) Melakukan studi kepustakaan, yaitu mempelajari sejumlah literature,
dokumen, catatan-catatan serta buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti khususnya yang berkaitan dengan Hukum
Islam.
2) Mempelajari peraturan perundang-undangan Hukum Islam khususnya
yang mengatur masalah perkawinan yang berlaku di Indonesia.
6. Teknik Analisa Data
Sesuai dengan data yang dikumpulkan oleh penulis yaitu data
kualitatif yang berupa data-data atau kalimat, maka kemudian data tersebut
76
oleh penulis dianalisa dengan teknik analisa data kualitatif dengan model
analisa interaktif. Ada 3 (tiga) kelompok pokok yang terdapat dalam model
analisa interaktif, yaitu :
1. Data Reduction (Reduksi Data). Merupakan sajian dari analisa yang
mempertegas; memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak
penting dan mengatur sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat
ditarik.
2. Data Display (Display Data). Merupakan rakitan suatu organisasi
informasi yang memungkinkan riset dapat dilaksanakan dengan melihat
suatu penyajian data, peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan
memungkinkan untuk mengerjakan suatu analisa atau tindakan lain
berdasar penelitian tersebut.
3. Conclusion Drawing (Kesimpulan). Adalah kesimpulan yang ditarik dari
semua hal yang terdapat dalam data rediction dan data display. Pada
dasarnya makna data harus diuji validitasnya supaya kesimpulan yang
diambil menjadi lebih kokoh.34
Adapun proses menganalisa data adalah dengan mereduksi data
yang telah terkumpul, yaitu dengan cara menyederhanakan atau membuang
data-data yang tidak relevan dengan penelitian, kemudian diadakan
penyajian data agar memungkinkan untuk dapat ditariknya suatu
kesimpulan. Namun apabila dirasa masih terdapat kekurangan dalam
menarik kesimpulan akibat kurang tercukupinya data yang telah ada, maka
34 HB. Sutopo, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, Fakultas Hukum UNS, Surakarta,
1981, Hal. 35.
77
penulis dapat melakukan penelitian dilapangan, sehingga nantinya dapat
ditarik suatu kesimpulan lagi yang lebih mengena dengan sasaran dan tujuan
penelitian.
Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan bagan analisa kualitatif
model interaktif sebagai berikut :
Bagan 1
Analisa KualitatifModel Interaktif
7. Jadwal Waktu Penelitian
Penelitian dalam rangka penulisan tesis ini diadakan mulai bulan
Agustus 2004 sampai dengan Oktober 2005. Jadwal kegiatan selengkapnya
dapat dilihat pada tabe berikut ini.
Pengumpulan data
Conclusion Drawing
Data Reduction Data Display
78
No. Kegiatan Waktu/Bulan
1 Persiapan
a. Mencari data awal
b. Penyusunan proposal
c. Seminar proposal
d. Penyempurnaan
Agustus - September 2005
Minggu I Agustus
Minggu IV Agustus
Minggu II September
Minggu IV September
2. Pelaksanaan Penelitian
a. Observasi lapangan penelitian
b. Pengolahan data
c. Analisa data
d. Penyusunan laporan
Bulan Oktober 2005
Minggu I
Minggu II
Minggu III
Minggu IV
3. Pertanggungjawaban
a. Ujian Tesis
b. Perbaikan
Bulan Desember 2005
Minggu II
Minggu IV
79
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peranan dan pengaruh psikologis adanya wali nikah dalam perkawinan
menurut Kompilasi Hukum Islam
Sebelum manusia memasuki pergaulan hidup yang lebih luas,
manusia berada dalam kehidupan keluarganya, kemudian terjadi pertumbuhan
dalam kehidupannya, dari masa kanak-kanak menjadi dewasa, berkembang,
mengenal dan menyesuaikan diri dengan individu disekitarnya. Kemudian
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah, pendirian-pendirian dan anggapananggapan
yang hidup di dalam masyarakat tempat ia berada, sehingga dalam
tingkah lakunya ia mendalilkan oleh kesediaan secara sadar atau tidak sadar
mengakui sejumlah kaedah yang terdapat dalam masyarakat.
Kaidah-kaidah itu meliputi kaedah agama, kaedah kesusilaan, kaedah
kesopanan dan kaedah hukum. Kadang-kadang kaedah itu diartikan sebagai
rem, yaitu sebagai pembatasan kebebasan manusia. Pengakuan bersama akan
kaedah sosial merupakan perikatan sosial yang sangat penting. Bahwa tidak
mungkin akan ada kehidupan bersama antara manusia tanpa menurut kaidah,
terutama kaedah agama atau yang disebut sebagai kaedah Ketuhanan yang
merupakan wahyu langsung dari Tuhan melalui para rosulnya seperti yang
tertulis di dalam kitab-kitab suci-Nya. Kaedah itu kemudian banyak
mempengaruhi bahkan menjadi inti di dalam pembentukan dan pertumbuhan
kaedah-kaedah dalam pergaulan hidup manusia.
80
Disamping itu manusia memerlukan interaksi dengan Tuhannya
untuk dapat menyadari tugasnya sebagai manusia yang ber-Ketuhanan,
sehingga dalam kehidupan manusia berusaha merealisasikan norma-norma
agamanya menurut petunjuk kitab suci termasuk pula didalamnya kehidupan
perkawinannya. Dalam Agama Islam, masalah perkawinan tidak dapat
dipisahkan dari peranan wali dalam melaksanakan perkawinan.
Perwalian di dalam Hukum Islam, selain dapat dilakukan atas orang
dan atas harta benda, di dalam Hukum Islam masih dikenal adanya perwalian
yang tidak dikenal di dalam Undang-Undang Perkawinan dan KUH-Perdata,
yaitu perwalian di dalam perkawinan.
Perwalian atas orang dan perwalian atas harta benda di dalam
keadaan tertentu, hakim Pengadilan dapat menunjuk seorang untuk menjadi
wali. Sedang perwalian dalam perkawinan, hakim Pengadilan tidak dapat
menunjuk seorang untuk menjadi wali, walaupun dalam keadaan tertentu wali
itu bisa digantikan dari instansi, yaitu KUA yang disebut wali hakim.
Di dalam Al Qur’an dan Hadist terdapat ketentuan tentang adanya
wali dalam suatu perkawinan. Sebagaimana telah disebutkan dalam bab
terdahulu, ketentuan itu antara lain :
Firman Tuhan di dalam surat An Nisa 25 “Hendaklah kamu nikahi perempuan
itu dengan seizin Walinya”.
Hadist yang diriwayatkan oleh Achmad, “Tidak sah nikah melainkan dengan
wali dan dua orang saksi yang adil”.
81
Hadist yang diriwayatkan oleh Hurairoh. “Tidaklah wanita menikahkan
dirinya bahwasanya wanita berzina itu adalah yang menikahkan dirinya”.
Hadist yang diriwayatkan Bukhori / Muslim. “Barang siapa yang menikah
tanpa seijin walinya, maka nikahnya batal”.
Berdasarkan ketentuan dari Al Qur’an dan Hadist tersebut timbullah
suatu kesan seolah-olah wanita tidak dapat bertindak dalam perbuatan hukum,
seolah-olah wanita bukanlah subyek hukum melainkan merupakan objek
hukum yang tidak mempunyai hak apapun juga, meskipun terhadap dirinya
sendiri, begitu pula di dalam perkawinan.
Akan tetapi sebenarnya, ketentuan dalam menurut Al-Qur’an dan
Hadist yang mengharuskan adanya wali dalam setiap perkawinan, justru
merupakan perlindungan yang ditujukan kepada kaum wanita, sebab wanita
sesuai dengan kodratnya sebagai makhluk yang lemah, dikhawatirkan akan
terjerumus dalam suatu perkawinan dengan suami yang tidak bertanggung
jawab.
Adapun mengenai wali nikah ini diatur dalam Pasal 19 sampai Pasal
23 Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan bahwa :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi
bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka peranan wali nikah sangat penting bagi
seorang wanita dalam akad nikah karena selain perintah agama, wanita adalah
makhluk yang mulia, makhluk yang memiliki beberapa hak yang telah
82
disyariatkan oleh sang pencipta dan mempunyai satu kedudukan yang dapat
menjaga martabat, kemanusiaan, dan kesuciannya serta merupakan wujud
cinta kasih seorang ayah atau keluarganya kepada anak perempuannya yang
akan membina suatu rumah tangga. Oleh karena itu, wali merupakan masalah
yang penting sekali dalam pernikahan sebab tidak ada nikah tanpa wali dan
wali menjadi syarat bagi sahnya suatu pernikahan.
Sesuai dengan peranannya sebagi wali nikah, maka dapat dikaitkan
dengan Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :
(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat Hukum Islam yakni muslim, aqil dan baliqh.
(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, maka untuk dapat bertindak
sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki muslim yang sudah aqil baliqh.
Adapun yang dapat menjadi wali nikah adalah wali nasab (diatur dalam Pasal
21) dan wali hakim (diatur dalam Pasal 23).
Pasal 21 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
83
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara seayah,
dan keturunan laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki
seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali
ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita.
Sedangkan dalam Pasal 23 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab
tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui
tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Untuk dapat mengetahui tata cara dalam melaksanakan suatu
pernikahan, setiap KUA khususnya KUA Kecamatan Polokarto mempunyai
pedoman mengenai tertib wali nikah. Adapun tertib wali nikah ini dapat
dilihat dalam bagan di bawah ini.
84
Bagan 2
Tertib Wali Nikah
Sumber : KUA Polokarto
Seayah
Paman/Kakek
19
Anak laki-laki
paman ayah
Paman ayah
25
Anaak laki-laki
paman kakek
_______ Paman
9
Seayah
ib
Anak laki-laki paman
11
Cucu paman
13
3
B t
2
K k k
1
A h
Mempelai
wanita
14 Paman
h
10 Anak lakilaki
20 Anak lakilaki
8
P
12 cucu
9 Paman
k k k
Saudara laki-laki
5
16 Anak lakilaki
4 Saudara lakil
ki
22 Wali
Hakim
6
Keponakan Keponakan
7
85
Bagan tertib wali nikah tersebut dikeluarkan oleh Direktorat Bimas Islam dan
Urusan Haji.
Tertibnya wali nikah dimulai urut nomor 1, apabila tidak ada, maka baru
beralih ke nomor 2 dan seterusnya, (wawancara : Hari Kamis, tanggal 27
Oktober 2005, jam 08.45 WIB. Kepala KUA Polokarto, Bapak Syafi’i, S.Ag,
M.Ag).
Adapun penjelasan dari bagan tersebut di atas adalah sebagai berikut.
1. Mengenai wali nasab boleh pindah ke wali hakim, apabila :
a. Sudah tidak ada garis nasab
b. Walinya mafqud/hilang
c. Walinya sendiri menikahi perempuan itu / tidak ada yang sederajat
d. Walinya ba’id/jauh, sejauh masafatul qoshri = 92,5 km
e. Walinya sedang sakit pitam/ayan
f. Walinya tidak boleh dihubungi/dipenjara
g. Walinya dicabut haknya oleh negara
h. Walinya sedang melakukan ihram/haji umroh
i. Walinya tawaaro/bersembunyi
j. Walinya udzur
k. Walinya adhol/mogok
2. Mengenai wali hakim
Wali hakim ditentukan berdasarkan permohonan dari calon
mempelai wanita ke KUA.
86
Lokasi penelitian ini adalah di KUA Kecamatan Polokarto
Kabupaten Sukoharjo. Untuk mengetahui tugas-tugas pegawai di KUA
Kecamatan Polokarto akan diuraikan rinciannya. Adapun rincian tugas
pegawai Kantor Urusan Agama Kecamatan Polokarto adalah :
1. Syafi’i, S.Ag, M.Ag, Jabatan sebagai Kepala Kantor Urusan Agama
1) Memimpin Kantor Urusan Agama Kecamatan Polokarto
2) Bertanggungjwab tugas sektoral dan lintas sektoral
3) Mengatur pola kerja penghulu di wilayah kerjanya
4) Melaksanakan dan penyelesaian persoalan bidang agama
5) Merlaporkan kegiatan kantor ke Kandepag Kab. Sukoharjo
2. Masrukhan, Jabatan sebagai Penghulu
1) Mewakili tugas bidang sektoral dan lintas sektoral
2) Melaksanakan tugas dalam bidang kepenghuluan
3) Melaksanakan penulisan buku Kutipan Akta Nikah (Model NA)
4) Melaksanakan administrasi dalam bidang perwakafan
5) Melaksanakan laporan yang bersifat temporer
3. Nur Ahmaddi Thohari, S.Ag, Jabatan sebagai Penghulu
1) Mewakili tugas bidang sektoral dan lintas sektoral
2) Melaksanakan tugas dalam bidang kepenghuluan
3) Bertanggung jawab permohonan duplikat dan rekomendasi nikah
**)
4) Melaksanakan administrasi Tolak dan Cerai (TC)
5) Melaksanakan administrasi bidang kemasjidan dan semisal
87
4. Sulimin, Jabatan sebagai Pencatat Arsip Pemeriksaan Nikah
1) Menata dan mengarsip berkas pemeriksaan nikah (Model N)
2) Menata dan mengarsip berkas putusan TC daari PA
3) Melayani permohonan duplikat dan rekomendasi nikah *)
4) Melayani permohonan legalisasi kutipan akta nikah *)
5) Pramu tamu
5. Sri Muryani, A.Ma, Jabatan sebagai Pencatat Buku Akta Nikah
1) Melaksanakan penulisan buku Akta Nikah (Model N)
2) Bendahara (pembukuan) keuangan kantor
3) Menerimaa berkas dan biaya pelaksanaan nikah
4) Melayani permohonan legalisai kutipan akta nikah *)
5) Urusan rumah tangga kantor
6. Heri Susanto, Bagian Tata Usaha dan Pengarsipan
1) Tata usaha persuratan dan pengarsipan
2) Membuat laporan kegiatan kantor : bulanan daan tri – wulan
3) Melayani permohonan legalisasi kutipan akta nikah *)
4) Melayani permohan duplikat dan rekomendaasi nikah *)
5) Melaksanakan administrasi bidang per-TPQ-an
Keterangan :
*) Adanya tugas pegawai yang sama dengan prinsip saling melengkapi
**) Sebagai penanggung jawab
88
Sedangkan mengenai masalah perwalian dalam pernikahan, selama
masih ada wali aqrab/dekat tidak boleh dipindahkan kepada wali
ab’ad/jauh. Wali aqrab boleh pindah ke wali ab’ad apabila walinya :
1. Tidak beragama Islam
2. Fasiq/suka berbuat dosa/maksiat
3. Belum baliq/masih kanak-kanak
4. Tidak berakal/karena gangguan jiwa
5. Rusak pikiran/lingkung/pikun
6. Bisu, tuli tidak bisa dengan isyarat/ tulisan
Wali hakim ada 2 :
1. Wali hakim biasa, tanpa putusan PA, contoh ugeran wali hakim
U G E R A N W A L I H A K I M
Nomor : 474.2/ / /
1. Nama lengkap : __________________________________
2. Tempat/tanggal lahir : __________________________________
3. Warga Negara/Agama : Indonesia / Islam__________________
4. Tempat Tinggal : Dk. Rt. /Rw.________
Ds. Kec. Polokarto_______
5. Status : ___________________________________
6. Sebab wali hakim : ___________________________________
Isi Permohonannya : Bpk Penghulu Kaantor Urusan Agama___
(Mempelai wanita kepada Kepala Kecamataan Polokarto selaku Wali_____
KUA Kecamatan Polokarto Hakim, saya mohon untuk menikahkan__
Saya :_____________________________
89
Dengan :__________________________
Dengan maskawin : _________________
_____________________________ tunai
Keterangan lain-lain yang perlu: __________________________________
___________________________________
Saksi-saksi 1. Nama lengkap : ___________________________________
Pekerjaan/umur : ___________________________________
Tempat tinggal : ___________________________________
2. Nama lengkap : ___________________________________
Pekerjaan/umur : ___________________________________
Tempaat tinggal : ___________________________________
___________Tgl._______________
Yang menjalankan Ugeran Saya yang mengajukan permohonan,
Penghulu Kantor Urusan Agama
Kecamatan Polokarto ______________________________
__________________________
Lurah Desa____________________
Tanda tangan saksi-saksi
Nama terang
1. ______________( _____ )
2. ______________ ( _____ ) ____________________________
2. Wali hakim karena walinya adhol dilaksanakan setelah adanya putusan
dari Pengadilan Agama.
Berdasarkan hasil wawancara pada hari Sabtu, tanggal 29 Oktober
2005 jam 09.00 WIB dengan Ibu Sri Muryani, staf KUA Kecamatan
Polokarto, diperoleh data hasil rekapitulasi pernikahan pada tahun 2004 di
KUA Kecamatan Polokarto sebanyak 702 perkawinan yang meliputi 17
90
kelurahan. Perkawinan yang menggunakan wali nasab sebanyak 671
perkawinan, 30 perkawinan yang menggunakan wali hakim selain wali
adhol, sedangkan 1 perkawinan yang menggunakan wali adhol35. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 1
Pencatatan Pernikahan Tahun 2004
Kecamatan Polokarto
No. Kelurahan Jml
Keseluruhan
Wali Nasab Wali Hakim
Adhol Bukan Adhol
1.
Kenangkareja
48 45 - 3
2. Tepisari 28 45 - -
3. Bulu 35 34 - 1
4. Rejosari 38 36 - 2
5. Kemasan 52/1* 49 - 3
6. Mranggen 85/1* 82 - 3
7. Polokarto 58/1* 55 1 2
8. Genengsari 43 42 - 1
9. Kayu Apak 44 42 - 2
10. Jatisobo 52/1* 47 - 5
11. Wonorejo 44 44 - -
12. Balakan 49/1* 45 - 4
13. Godong 36/1* 35 - 1
14. Ngombakan 33/1* 32 - 1
15. Karangwuni 18 18 - -
16. Bugel 23 22 - 1
17. Pranan 16 15 - 1
Sumber : KUA Kecamatan Polokarto
Keterangan * : orang miskin yang menikah gratis.
Berdasarkan daftar tabel di atas dapat diketahui bahwa di Kecamatan
Polokarto, cukup banyak mempelai wanita yang menikah dengan
35 Ibu Sri Muryani, Staff bagian Pencatat Buku Akta Nikah, Wawancara Pribadi, Tanggal 29
Oktober 2004
91
menggunakan wali hakim, yaitu sebanyak 30 perkawinan yang
menggunakan wali hakim bukan adhol dan 1 perkawinan yang
menggunakan wali adhol dalam kurun waktu dari bulan Januari sampai
dengan Desember 2004.
Di bawah ini beberapa contoh perkawinan yang menggunakan wali
nasab dan wali hakim untuk melaksanakan perkawinan.
1. Perkawinan dengan Menggunakan Wali Nasab
a) Wali Nasab (Ayah)
Dalam Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor 537/05/X/2005
yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Polokarto pada tanggal 20 September 2005 dan
pelaksanaan akad nikah pada tanggal 1 Oktober 2005
dilangsungkan perkawinan antara Sarino, umur 35 tahun dengan
Sri Wahyuni 25 tahun.
Perkawinan ini dilaksanakan dengan menggunakan wali
nasab, ayah kandung, yang bernama Mitrowiyono alias Temu Bin
Kartopawiro, alamat Dukuh Bakalan RT 03 / 01, Bakalan,
Polokarto. Kelahiran Sukoharjo, 31 Desember 1947, WNI, Agama
Islam, pekerjaan buruh. Pelaksanaan perkawinan ini telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, yaitu ayah kandungnya sendiri
yang berhak sebagai wali calon mempelai wanita. Dalam hal ini
wali nasab bertindak sebagai orang yang menikahkan calon
mempelai wanita dengan calon suaminya.
92
b) Wali Nasab (Paman)
Dalam Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor 538/06/X/2005
yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan
Agama Polokarto pada tanggal 19 September 2005 dan
pelaksanaan akad nikah pada tanggal 19 September 2005
dilangsungkan perkawinan antara Sutriyanto, umur 31 tahun
dengan Sugiyatmi, umur 26 tahun.
Perkawinan ini dilaksanakan dengan menggunakan wali
nasab, paman, yang bernama Supriyanto bin Sutodimejo, WNI,
Agama Islam, pekerjaan buruh. Pelaksanaan perkawinan ini telah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu apabila wali yang
berhak untuk menikahkan tidak ada (meninggal dunia), maka
kedudukannya digantikan oleh wali nasab yang berhak. Dalam hal
ini wali nasab bertindak sebagai orang yang menikahkan calon
mempelai wanita dengan calon suaminya.
2. Perkawinan dengan Menggunakan Wali Hakim
Adanya keadaan tertentu yang menyebabkan suatu perkawinan
membutuhkan wali hakim yang biasanya terjadi pada pelaksanaan
perkawinan yang tidak mempunyai wali nasab yang berhak, wali
aqrabnya ghaib karena jauh, sedang menjalani hukuman, sukar
ditemui, enggan untuk menikahkan atau berbeda agama dengan calon
mempelai wanita (Hasil wawancara dengan Kepala Kantor Urusan
93
Agama Polokarto Bapak Syafi’i, S.Ag, M.Ag, tanggal 27 Oktober
2004, jam 10.15 WIB).
Oleh sebab itu penulis akan memberikan contoh perkawinan
yang menggunakan wali hakim dengan alasan calon mempelai wanita
tidak mempunyai wali nasab yang berhak (wali nasabnya habis), ghaib
karena jauh dan walinya berbeda agama maupun walinya adhol.
a. Perkawinan dengan wali hakim karena tidak mempunyai wali
nasab (kehabisan wali nasab).
Dalam Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor 485/04/IX/2004 yang
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Polokarto pada tanggal 13 November 2004 dan pelaksanaan akad
nikah tanggal 30 Mei 2004 dilangsungkan perkawinan antara
Sugiyanto, umur 28 tahun dengan Sri Daryati, umur 22 tahun.
Perkawinan ini dilaksanakan dengan menggunakan wali
hakim karena calon mempelai wanita, Sri Daryati kehabisan wali
nasab yang berhak. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 1987 tentang Wali hakim, maka kedudukan wali nikah
calon mempelai wanita digantikan oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan tempat tinggal calon mempelai wanita, maka
dalam hal ini kedudukan wali nikahnya akan digantikan oleh
Kepala Kantor Urusan Agama Polokarto, yaitu Bapak Syafi’i,
S.Ag, M. Ag.
94
Pelaksanaan perkawinan ini telah sesuai dengan peraturan
dan ketentuan yang ada, yaitu berdasarkan Pasal 1 huruf b
Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 disebutkan
didalamnya bahwa wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah
dan dalam Pasal 4 disebutkan bahwa Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan ditunjuk sebagai wali hakim dalam wilayahnya dan
apabila dirinya berhalangan, maka kedudukannya digantikan oleh
wakil atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini
Kepala Kantor Urusan Agama Polokarto selaku wali hakim
bertindak sebagai wali dari wali nikah yang berhak untuk
menikahkan calon mempelai wanita, Sri Daryati dengan calon
suaminya, Sugiyanto.
b. Perkawinan dengan wali hakim karena walinya ghaib, karena jauh.
Dalam Daftar Pemeriksaan nikah Nomor 429/04/IX/2004
yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah pada tanggal 27 April
2004 dan pelaksanaan akad nikah pada tanggal 15 April 2004
dilangsungkan perkawinan antara Budi Asrori, umur 30 tahun
dengan Sumiyati, umur 21 tahun.
Perkawinan ini dilangsungkan dengan menggunakan wali
hakim karena wali aqrabnya ghaib karena jauh, yaitu sedang
berada di Kalimantan dan tidak memungkinkan untuk
menghadirkannya untuk menjadi wali nikah calon mempelai
wanita, Sumiyati. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2
95
Tahun 1987 tentang Wali Hakim, maka kedudukan wali nikah
calon mempelai wanita akan digantikan oleh Kepala Kantor
Urusan Agama Polokarto, yaitu Syafi’i. S.Ag, M.Ag.
Pelaksanaan perkawinan ini telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yaitu berdasarkan Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 disebutkan didalamnya bahwa wali
hakim dapat bertindak ssebagai wali nikah bagi calon mempelai
wanita yang tidak mempunyai wali nikah dan dalam Pasal 4
disebutkan bahwa Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
ditunjuk sebagai wali hakim dalam wilayahnya dan apabila
berhalangan, maka kedudukannya digantikan oleh wakil atau
Pembantu Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini Kepala Kantor
Urusan Agama Polokarto bertindak sebagai wakil dari wali nikah
yang berhak untuk menikahkan calon mempelai wanita, Sumiyati
dengan calon suaminya, Budi Asrori.
c. Perkawinan dengan wali hakim karena wali nasab berbeda agama.
Dalam Daftar Pemeriksaan Nikah Nomor 448/04/IX/2004
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Pencatat Nikah Polokarto pada
tanggal 7 Juli 2004 dilangsungkan perkawinan antara Sri Raharjo,
umur 31 tahun dengan Tri Murtini, umur 24 tahun.
Perkawinan ini dilangsungkan dengan menggunakan wali
hakim karena wali nasab calon mempelai wanita, Tri Murtini
berbeda agama dengannya dan berdasarkan Peraturan Menteri
96
Agama Nomor 2 Tahun 1987 kedudukan wali nasab tersebut
digantikan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Polokarto, Syafi’i,
S.Ag, M.Ag.
Pelaksanaan perkawinan ini telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yaitu berdasarkan Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 disebutkan didalamnya bahwa wali
hakim dapat bertindak sebagai wali nikah bagi wanita yang tidak
mempunyai wali nikah dan dalam Pasal 4 disebutkan bahwa
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ditunjuk sebagai wali
hakim dalam wilayahnya dan apabila berhalangan, maka
kedudukannya digantikan oleh wakil atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah. Dalam hal ini Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
bertindak sebagai wakil dari wali nikah calon mempelai wanita, Tri
Murtini dengan calon suaminya, Sri Raharjo.
d. Perkawinan dengan menggunakan Wali Adhol.
Dalam putusan Pengadilan Agama Sukoharjo dengan nomor
putusan : 11/Pdt.P/2004/PA. Skh tanggal 7 Juni 2004, telah diputus
perkara permohonan Pemohon mengenai wali adhol sebagai wali
nikah pemohon, yaitu Sri Nur Hastutik binti Widnyosuwito, umur
34 tahun, Agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
Kersan, Rt 01 / Rw I, Desa Jatisebo, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo.
97
e. Perkawinan dengan menggunakan Wali Adhol.
Dalam putusan Pengadilan Agama Sukoharjo dengan nomor
putusan : 11/Pdt.P/2004/PA. Skh tanggal 7 Juni 2004, telah diputus
perkara permohonan Pemohon mengenai wali adhol sebagai wali
nikah pemohon, yaitu Sri Nur Hastutik binti Widnyosuwito, umur
34 tahun, Agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
Kersan, Rt 01 / Rw I, Desa Jatisebo, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo.
f. Perkawinan dengan menggunakan Wali Adhol.
Dalam putusan Pengadilan Agama Sukoharjo dengan nomor
putusan : 11/Pdt.P/2004/PA. Skh tanggal 7 Juni 2004, telah diputus
perkara permohonan Pemohon mengenai wali adhol sebagai wali
nikah pemohon, yaitu Sri Nur Hastutik binti Widnyosuwito, umur
34 tahun, Agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
Kersan, Rt 01 / Rw I, Desa Jatisebo, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo.
g. Perkawinan dengan menggunakan Wali Adhol.
Dalam putusan Pengadilan Agama Sukoharjo dengan nomor
putusan : 11/Pdt.P/2004/PA. Skh tanggal 7 Juni 2004, telah diputus
perkara permohonan Pemohon mengenai wali adhol sebagai wali
nikah pemohon, yaitu Sri Nur Hastutik binti Widnyosuwito, umur
34 tahun, Agama Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal di
98
Kersan, Rt 01 / Rw I, Desa Jatisebo, Kecamatan Polokarto,
Kabupaten Sukoharjo.
Pemohon adalah anak kandung dari Wignyosuwito yang sekarang
sudah meninggal dunia. Pemohon mempunyai saudara laki-laki
kandung, yaitu kakak 2 (dua) orang bernama Suyanto bin
Wignyosuwito dan Joko Sutanto bin Wignyosuwito.
Pemohon telah menghadap ke Kantor Urusan Agama Kecamatan
Polokarto memberitahukan kehendaknya untuk menikah dengan
Indri Sutanto, namun kakak-kakak Pemohon sebagai wali nasab
tidak bersedia menikahkan, maka Kantor Urusan Agama
Kecamatan Polokarto menyatakan tidak dapat melaksanakannya
sesuai surat nomor : MK. 33/K.07/30/04 tanggal 26 April 2004.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas Pemohon mohon kepada
Pengadilan Agama Sukoharjo untuk memeriksa permohonan ini
dan menjatuhkan Penetapan sebagai berikut.
1. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya;
2. Menyatakan wali nikah Pemohon (Suyanto dan Joko Sutanto)
adalah wali adhol;
3. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon untuk
melangsungkan perkawinan dengan Indri Sutanto dengan
pelaksanaan wali hakim;
99
4. Menetapkan biaya menurut hakim; Atau bilamana Pengadilan
berpendapat lain, mohon agar perkara ini diputus dengan
seadil-adilnya.
Adapun alasan Pemohon adalah mohon penetapan adhol bagi
walinya, karena saudara-saudaranya tidak merestui dan tidak
bersedia menjadi wali padahal ayah kandung Pemohon sudah
meninggal dunia. Saudara-saudaranya tidak merestui dan tidak
bersedia menjadi wali karena calon suami Pemohon tidak berharta.
Selain itu juga bahwa Pemohon dan calon suami adalah
orang lain tidak ada hubungan mahrom dan sepersusuan sehingga
tidak ada halangan untuk melaksanakan perkawinan sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39
Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan beberapa alasan tersebut di atas, maka
Pengadilan Agama Sukoharjo menetapkan mengabulkan
permohonan Pemohon seluruhnya, menyatakan bahwa wali nikah
Pemohon (Suyanto bin Wignyosuwito dan Joko Sutanto bin
Wignyosuwito) adalah adhol, dan memberikan ijin kepada
Pemohon untuk melangsungkan perkawinan dengan Indri Sutanto
dengan wali hakim.
Oleh karena itu, dengan adanya Surat penetapan Pengadilan
Agama Sukoharjo dengan nomor putusan : 11/Pdt.P/2004/PA. Skh
tanggal 7 Juni 2004, telah diputus perkara permohonan pemohon
100
mengenai wali adhol sebagai wali nikah pemohon, yaitu Sri Nur
Hastutik binti Widnyosuwito, umur 34 tahun. Dengan adanya
penetapan tersebut, maka perkawinan tersebut dapat dilangsungkan
dengan menggunakan wali hakim sebagaimana yang ditetapkan
oleh Pengadilan Agama Sukoharjo. Wali hakim ini adalah Kepala
Kantor Urusan Agama Polokarto, Bapak Syafi’i, S.Ag, M.Ag.
Selain itu, juga berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2
Tahun 1987 pernikahan Pemohon dengan calon suaminya dapat
dilangsungkan dengan wali hakim.
Pelaksanaan perkawinan ini telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yaitu berdasarkan Pasal 1 huruf b Peraturan Menteri
Agama Nomor 2 Tahun 1987 disebutkan didalamnya bahwa wali
hakim dapat bertindak sebagai wali nikah bagi wanita yang tidak
mempunyai wali nikah dan dalam Pasal 4 disebutkan bahwa
Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ditunjuk sebagai wali
hakim dalam wilayahnya dan apabila berhalangan, maka
kedudukannya digantikan oleh wakil atau Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah. Dalam hal ini Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
bertindak sebagai wakil dari wali nikah calon mempelai wanita, Sri
Nur Hastutik dengan calon suaminya, Indri Sutanto.
Apabila beberapa kasus tersebut di atas dihubungkan dengan
ketentuan Hukum Islam, maka peranan wali menurut Hukum Islam
adalah yang memiliki hak untuk menjadi wali guna melakukan
101
akad nikah telah ditentukan sesuai dengan tertib wali dan
keberadaan wali dalam ajaran Islam adalah melakukan ijab, yaitu
pernyataan wali calon mempelai wanita yang nantinya akan
diterima oleh pihak pria. Disamping itu wali tersebut hanya berada
dipihak wanita guna memberikan ijin serta melakukan perkawinan
anaknya. Hal ini sesuai dengan Hadist Riwayat Ahmad, Al Arba’ah
dan Abu Hurairah yang artinya berbunyi,
“Tidak sah akad nikah kecuali dengan adanya seorang wali
nikah”.
Disamping itu pula berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) PP
Nomor 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa tata cara perkawinan
dilakukan berdasarkan hukum masing-masing dan kepercayaannya.
Bertitik tolak dari ketentuan tersebut, jelas bahwa suatu
perkawinan itu sah apabila telah sesuai dengan tata cara yang telah
ditentukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Sehubungan dengan adanya dasar di atas, maka dalam perkawinan
di Indonesia kesemuanya tidak terlepas dari hukum agama, dan
bila dikaitkan dengan Hukum Islam, maka didalamnya akan
terkandung berbagai aturan mengenai perkawinan bagi umatnya.
Dari berbagai kasus yang dibahas menurut ajaran agama
Islam tentang peranan wali dapat dikemukakan bahwa semua
perkawinan yang dilakukan harus dengan wali nikah, sebab
perkawinan tersebut memakai dasar ajaran agama Islam.
102
Menurut Hukum Islam, seorang wali bertugas melaksanakan
ijab, yaitu pernyataan dari wali calon mempelai wanita dalam akad
nikah dan selanjutnya calon mempelai pria melakukan qabul, yaitu
pernyataan penerimaan calon mempelai pria atas pernyataan wali
nikah calon mempelai wanita. Adapun tugas wali nikah ini hanya
berlaku bagi calon mempelai wanita saja, artinya apabila ada anak
perempuan hendak melangsungkan perkawinan harus dengan
walinya, sedangkan untuk calon suaminya tidak harus dengan
walinya.
Dalam pelaksanaan wali nikah menurut Agama Islam ini,
seorang wali bertindak melakukan ijab bagi anak perempuannya
tidak terbatas pada usia kedewasaan menurut Undang-Undang
Perkawinan, melainkan mulai dari batas usia untuk melakukan
perkawinan, yaitu usia 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun
untuk laki-laki.
Berdasarkan contoh perkawinan yang telah penulis sebutkan
di atas, maka dapat diketahui tugas wali dalam perkawinan adalah
sebagai berikut.
Dalam contoh perkawinan yang menggunakan wali nasab,
wali nikah Sugiyatmi, Supriyanto bin Sutodimejo yang merupakan
adik kandung dari ayah mempelai wanita selain memberikan ijin
untuk menikah karena wali nikahnya yang lebih berhak sudah tidak
103
ada, juga menikahkan calon mempelai wanita dengan calon
suaminya.
Dalam perkawinan yang menggunakan wali hakim baik yang
dimohonkan oleh Sri Daryati, Sumiyati, Tri Murtini maupun Sri
Nur Hastutik, wali hakim yang merupakan Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan Polokarto selain memberikan ijin untuk
menikah juga melakukan ijab dalam akad nikah, sehingga tugas
wali hakim ini adalah menggantikan tugas wali nikah calon
mempelai wanita dengan calon suaminya.
Saat sahnya perkawinan menurut Hukum Islam adalah pada
waktu pelaksanaan akad nikah yang didalamnya terdapat ijab
kabul. Ijab ialah penyerahan wanita oleh wali atau wakilnya
kepada mempelai pria. Sedang kabul ialah penerimaan mempelai
wanita oleh pria atau wakilnya. Adapun tugas wali nikah ini hanya
berlaku bagi calon mempelai wanita saja. Artinya apabila ada anak
perempuan hendak melangsungkan perkawinan harus dengan
walinya, sedangkan untuk calon suaminya tidak harus dengan
walinya.
Menurut Hukum Islam perkawinan itu sah jika sudah
memenuhi syarat dan rukunnya. Yang menjadi syarat perkawinan
ialah adanya kata sepakat antara pihak-pihaknya, calon suami isteri
sudah baliq atau dewasa dan tidak ada hubungan / halangan yang
dapat merintangi perkawinannya. Yang menjadi rukun perkawinan
104
ialah adanya calon suami isteri, adanya wali nikah, adanya dua
orang saksi dan adanya ijab kabul. Jadi, wali nikah merupakan
salah satu rukun perkawinan.
Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali
adalah salah satu rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan
kalau tidak ada wali.
Dengan mendasarkan pendapat Imam Maliki dan Imam
Syafi’i itu, suatu perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat
seorang wali yang mengijapkan mempelai wanita kepada mempelai
pria. Dengan demikian adanya wali dalam perkawinan dapat
berperan untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang
merugikan di dalam kehidupan perkawinannya. Di samping itu
adanya wali dalam suatu perkawinan telah pula ditetapkan sebagai
salah satu rukunnya, sehingga tidak dapat ditinggalkan apabila
menghendaki sahnya perkawinan yang dilaksanakan.
Sebagaimana pesan Nabi Muhammad, 82 hari sebelum beliau
berpulang kerahmatullah, dimana beliau berpesan :
“Takutlah kamu kepada Allah mengenai urusan wanita,
karena kamu telah mengambil mereka (dari peringatannya)
dengan amanat Allah”.
Hal ini menunjukkan bahwa wanita memiliki derajat yang
tinggi di mata Allah. Sehingga wanita memiliki harkat dan
105
martabat yang perlu dilindungi, karena wanita merupakan makhluk
yang paling mulia dalam kehidupan bermasyarakat.
Wali mempunyai arti yang sangat besar dalam perkawinan
menurut Hukum Islam, sehingga perkawinan itu tidak akan sah,
jika tidak disertai seorang wali. Ijab yang diucapkan seorang dalam
kedudukannya sebagai wali yang memegang peranan didalam
perkawinan yang dilangsungkan. Sebab ijab aqad nikah hanya sah
jika dilakukan oleh wali mempelai wanita. Kedudukan wali yang
amat penting ini dapat difahami, karena sejak dikandung,
dilahirkan sampai dewasa, seorang anak banyak memerlukan
pengorbanan orang tuanya. Sehingga tidak sepatutnyalah apabila
seorang anak yang hendak membentuk rumah tangga, demikian
saja meninggalkan orang tuanya.
Oleh karena itu, pernyataan penyerahan mempelai wanita
kepada mempelai pria yang diucapkan oleh ayah dalam
kedudukannya sebagai wali nikah, dapat dilambangkan sebagai
akhir tugas yang berhasil dari orang tua di dalam tugasnya untuk
memenuhi kebutuhan materiil dan spirituil anak gadisnya.
Sehingga anak gadisnya menjadi dewasa dan siap untuk
membentuk rumah tangga yang berdiri sendiri. Dengan selesainya
ijab kabul itu, maka tugas orang tua beralih kepada suaminya.
Berdasarkan contoh-contoh perkawinan tersebut di atas,
maka suatu perkawinan akan membawa dampak psikologis
106
tersendiri bagi calon pengantin, terlebih lagi bagi calon mempelai
wanita. Dengan dipenuhinya terlebih dahulu syarat-syarat dan
rukun perkawinan, sebelum perkawinan itu dilaksanakan,
khususnya ada izin, adanya do’a restu dan adanya kesediaan wali
calon mempelai wanita untuk melaksanakan ijab di dalam akad
nikahnya. Kesemuanya itu membawa pengaruh psikologis yang
besar untuk berlangsungnya kebahagiaan di dalam kehidupan
rumah tangga yang bersangkutan. Karena seperti yang telah penulis
jabarkan di muka, bahwa sebelum manusia memasuki pergaulan
hidup yang lebih luas, ia berada dalam kehidupan keluarga,
kemudian terjadilah pertumbuhan dalam kehidupan dari masa
kanak-kanak sehingga menjadi dewasa. Dalam pertumbuhan
tersebut baik anak laki-laki maupun anak perempuan, di dalam
dirinya berkembang pula hubungan batin dengan keluarganya yang
makin lama makin menebal, sehingga dapat dikatakan bahwa anak
merupakan percerminan orang tua. Walaupun demikian ikatan
batin antara anak perempuan dengan keluarganya lebih erat dari
pada anak laki-laki. Hal ini bagi anak perempuan sudah menjadi
pembawaan alam bahwa mereka lebih memerlukan dan lebih erat
hubungannya dengan keluarganya, ia lebih ikut merasakan
kesukaran penderitaan dan ketenangan orang tuanya.
Karena keadaan semacam itulah, maka bagi gadis yang akan
melangsungkan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang
107
baru dengan calon suaminya, ia tidak dapat begitu saja melepaskan
diri dari ikatan kehidupan batin dengan orang tuanya, ia
membutuhkan dorongan batin untuk memulai kehidupan baru
sebagai suami isteri di dalam rumah tangga agar dalam rumah
tangga itu dapat dicapai kehidupan yang bahagia. Oleh karena
orang tua bertindak sebagai wali dalam perkawinan, untuk
menyerahkan anak gadisnya kepada pria calon suaminya yang
bersangkutan, maka gadis tersebut tidak bertindak sendiri.
Ia merasa memperoleh kekuatan batin untuk melepaskan diri
dari dengan orang tuanya sekaligus memperoleh dorongan untuk
membina rumah tangganya sendiri. Satu hal lain yang
menggembirakan dan menentramkan hatinya, yaitu meskipun ia
telah membentuk rumah tangga sendiri selepas dari orang tuanya,
rumah tangga yang baru dibentuknya itu akan selalu dapat terjaga
dengan baik hubungan silahturahmi dengan orang tua yang
dicintainya. Begitu pula bagi pihak suami ia merasa bahwa dengan
penuh kepercayaan orang tua si gadis telah menyerahkan anak
gadisnya kepadanya, sehingga hal ini akan menimbulkan
kepercayaan kepada diri sendiri dan rasa tanggung jawab yang
besar untuk bertindak sebagai suami yang bijaksana dan penuh
pengertian. Hal-hal semacam inilah yang merupakan pengaruh
psikologis yang besar artinya, untuk mendorong terwujudnya
rumah tangga yang kekal dan bahagia.
108
Disini akan penulis kemukakan contoh dari adanya dampak aspek
psikologis terhadap kehidupan rumah tangga pasangan suami istri
apabila dalam perkawinan orang tua pihak wanita tidak bersedia
menjadi wali nikah karena tidak mau menyetujui terjadinya
perkawinan dikarenakan faktor tidak menerima calon pengantin
laki-laki pilihan anak gadisnya.
Dari hasil wawancara penulis dengan responden pasangan suami istri,
yaitu Bapak Mudakir dan Siti Harsanti, mereka telah menikah pada tanggal 8
Mei 1999, hingga sampai sekarang perkawinan mereka dalam konflik yang
dikarenakan oleh adanya intervensi pihak orang tua dari si istri (Siti Harsanti)
yang selalu mencampuri rumah tangga mereka dan menyebabkan retaknya
hubungan suami istri antara Mudakir dan Siti Harsanti. Menurut mereka,
orang tua Siti Harsanti menginginkan perceraian. Tentu saja hal ini sering
memicu pertengkaran dan perbedaan pendapat antara mereka.
Di satu pihak Mudakir sangat membenci mertuanya dan di pihak Siti
Harsanti, dia ada semacam dilema (perang batin) antara memilih dan memihak
suaminya tetapi juga tidak berani melawan orang tuanya karena dia masih
menghormati dan menghargai orang tuanya.
Akhirnya pada tahun 2003, mereka memutuskan untuk pisah ranjang
atau pisah rumah. Siti Harsanti hingga sampai sekarang tinggal menetap
dengan orang tuanya sendiri bersama kedua anaknya. Mereka tidak bercerai
dengan alasan kasihan anak-anaknya.
109
Alasan sebenarnya mengapa orang tua pihak perempuan tidak suka
dengan pihak laki-laki, karena Mudakir hanya anak seorang petani miskin dan
pekerjaannya. Mudakir sendiri bekerja di bengkel dan onderdil mobil.
Pada waktu menikah mereka menggunakan wali hakim, karena wali
nasabnya dinyatakan adhol oleh Pengadilan Agama Kabupaten Sukoharjo atas
permohonan Siti Harsanti. Pernikahan mereka dilaksanakan di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Bendosari36.
Pada contoh yang kedua, yaitu pasangan suami isteri yang kini telah
bercerai. Mereka adalah Agung Trihatmo dengan Rini Pribandani, mereka
menikah pada tanggal 21 Maret 2001, di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Polokarto dengan menggunakan Wali Hakim, karena wali nasab (bapak) calon
mempelai wanita tidak mau menjadi wali nikah, maka walinya dinyatakan
adhol oleh Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Sukoharjo. Alasan orang
tua calon mempelai perempuan tidak setuju dengan calon mempelai pria
adalah karena bahwa pihak laki-laki (Agung Trihatmo) tidak beragama. Ayah
dari Rini, yaitu H. Sri Setyono mengatakan bahwa Agung tidak kuat
agamanya dan suka materi untuk bersenang-senang.
Pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama Kecamatan Polokarto
dengan Wali Hakim Drs. Suyud (yang menjabat Kepala Kantor Urusan
Agama pada waktu itu) tanpa kehadiran orang tua dan keluarga mempelai
wanita. Selama masa pernikahan itu pihak orang tua dari istri terus berusaha
memisahkan bahtera rumah tangga mereka, bahkan berusaha menfitnah agung
36 Bapak Syafi’I, Kepala KUA Kec. Polokarto, Wawancara Pribadi, Tanggal 6 Desember 2005
110
dihadapan anaknya (Rini). Orang tua Rini selalu menjelek-jelekkan dan
memprovokasi perasaan anak gadisnya supaya membenci dan memusuhi
suaminya. Akhirnya berhasil juga usaha orang tua Rini, karena dia bingung
dan ada dilema batinnya sampai Rini mengalami keguguran dan bahkan
mencoba melakukan bunuh diri.
Akhirnya Rini diajak pulang tinggal di rumah orang tuanya lagi dan
meninggalkan suaminya. Melihat keadaan rumah tangga Agung seperti itu,
maka pihak keluarga Agung mengambil keputusan untuk memenuhi tuntutan
dari keluarga Rini yang telah mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama
Kabupaten Sukoharjo dan pada bulan Januari 2002 putusan cerai keluar
karena pihak suami sudah mau dan ikhlas memberikan talaknya (Hasil
wawancara pada hari Rabu, tanggal 7 Desember 2005, jam 10.00WIB)
Dari kedua contoh konflik perkawinan di atas, maka dapatlah diketahui
betapa sangat pentingnya figur seorang wali nasab, yaitu ayah dan betapa
pentingnya ijin dan restu dari orang tua kepada anak gadisnya untuk
melepaskan ke pintu gerbang bahtera rumah tangga anaknya demi
terwujudnya kebahagiaan dan ketentraman berlangsungnya rumah tangga
anaknya. Disini dapat kita lihat aspek pengaruh psikologis adanya ijin dan
restu dari wali nikah bagi pihak perempuan.
111
B. Permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi sehubungan dengan
masalah wali nikah
Berdasarkan berbagai uraian di atas yang menyangkut masalah wali
dalam perkawinan terdapat berbagai permasalahan yang seringkali menjadi
faktor penghambat pelaksanaan perwalian dalam perkawinan. Adapun faktor
penghambat dalam pelaksanaan perwalian perkawinan adalah sebagai berikut.
1. Faktor pendidikan
Masyarakat di Kecamatan Polokarto rata-rata berpendidikan SD
sehingga masyarakat setempat kurang dalam hal pengetahuan umum
maupun pengetahuan agama bagi seseorang secara individu yang berkaitan
dengan masalah perkawinan, khususnya masalah wali dalam perkawinan.
Hal ini terjadi mengingat minimnya pengetahuan mereka terhadap hukum
perkawinan dan hukum agama yang dianutnya.
2. Menikah dengan wali seorang ustadz
a. Adanya kepercayaan masyarakat setempat, khususnya para wanita
yang mau menikah, yang begitu besar terhadap ustadz sehingga calon
mempelai wanita ketika hendak menikah menggunakan wali ustadz
dan tanpa meminta ijin orang tuanya sebagai wali nikahnya yang sah.
b. Banyak calon mempelai wanita yang hendak menikah, setelah
meminta ijin kepada orang tuanya, memilih menggunakan wali ustadz
sebagai walinya. Hal ini didasarkan keyakinan mereka bahwa seorang
ustadz memiliki kemampuan lebih dalam menguasai ilmu agama
Islam.
112
3. Keegoisan orang tua
Mengenai keegoisan orang tua ini, biasanya orang tua merasa
tidak sesuai dengan pilihan anaknya. Orang tua merasa bahwa apa yang
menjadi pilihannya itu adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Apabila
orang tua tidak setuju dengan pilihan anaknya tetapi mereka tetap
menikah, orang tua terkadang ikut campur tangan dalam rumah tangga
anaknya. Dengan ikut campurnya orang tua dalam rumah tangga anaknya,
dapat menimbulkan kecekcokan dalam rumah tangga tersebut yang dapat
berakibat pada perceraian. Kesombongan dan keangkuhan dari sikap
orang tua pihak perempuan terkadang mengalahkan makna dan pentingnya
pernikahan itu sendiri bahkan sampai mengindahkan kebahagian anaknya
sendiri.
Dapat kita lihat pada Pasal 16 dan Pasal 17 KHI bahwa tidak
diperbolehkan “kawin paksa”. Disini penekanannya terutama diberikan
kepada calon mempelai wanita untuk melakukan penolakan. Dengan
demikian birrul walidain tidak boleh dipakai sebagai dasar perisai bagi
orang tua untuk memaksa perkawinan putrinya37. Jadi, orang tua juga
harus menghargai dan menerima apa yang menjadi pilihan anaknya.
37 M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 40
113
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Peranan Peranan dan pengaruh psikologis adanya wali nikah dalam
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam
a. Menurut Hukum Islam peranan wali dalam perkawinan adalah sangat
penting sebab semua perkawinan yang dilakukan harus dengan izin
dan restu wali nikah, terutama wali nasab yaitu ayah, karena
perkawinan tersebut memakai dasar ajaran agama Islam. Pernikahan
tanpa izin wali adalah tidak sah. Hal ini dipertegas dalam Pasal 19
KHI. Dengan adanya wali nikah dalam perkawinan dapat berperan
untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan
didalam rumah tangga perkawinannya.
b. Wali nasab, terutama ayah, berkewajiban untuk menikahkan anak
gadisnya, yaitu dengan mengucapkan ijab pada saat pelaksanaan akad
nikah.
c. Wali nasab, terutama ayah juga berperan secara materiil dalam
pelaksanaan pernikahan anaknya sebagai tugas akhir dari dharma
baktinya.
114
d. Kalau Wali Nasab sudah tidak ada, maka untuk sahnya perkawinan
harus menggunakan Wali Hakim dari Kantor Urusan Agama. Apabila
Wali Nasab enggan untuk menjadi wali nikah, maka menggunakan
Wali Hakim tetapi harus dengan terlebih dahulu ada putusan dari
Pengadilan Agama bahwa wali Adhol atas permohonan dari pihak
calon mempelai perempuan.
e. Dengan terpenuhinya terlebih dahulu syarat-syarat dan rukun
perkawinan dan yang tidak kalah penting adalah adanya izin dan restu
dari wali nasab, terutama ayah sebelum perkawinan dilaksanakan.
Semuanya itu akan memberikan pengaruh aspek psikologis bagi
kelangsungan dan ketentraman rumah tangga perkawinan anak
gadisnya. Disini dapat berupa dukungan dan kasih sayang dari orang
tuanya yang selalu tetap ada.
2. Permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi sehubungan dengan
masalah wali nikah
Adapun faktor penghambat dalam pelaksanaan perwalian
perkawinan adalah sebagai berikut.
a. Faktor pendidikan
Masyarakat di Kecamatan Polokarto rata-rata berpendidikan SD,
karena mereka sejak kecil mereka sudah dibiasakan oleh orang tuanya
untuk bertani sehingga masyarakat setempat kurang dalam hal
115
pengetahuan umum maupun pengetahuan agamanya khususnya dalam
hal perkawinan terutama masalah wali dalam perkawinan.
b. Menikah dengan wali seorang ustadz
Adanya kepercayaan masyarakat setempat, khususnya para
wanita yang mau menikah, yang begitu besar terhadap ustadz sehingga
calon mempelai wanita ketika hendak menikah menggunakan wali
ustadz dan tanpa meminta ijin orang tuanya sebagai wali nikahnya
yang sah maupun orang tua mengijinkan anaknya menikah dengan
menggunakan ustadz sebagai wali nikahnya, karena para orang tua
menganggap ustadz adalah orang yang lebih paham dalam ilmu agama
Islam.
Istilah menikah dengan menggunakan wali seorang ustadz
dikenal di masyarakat Kecamatan Polokarto, dan istilah tersebut tidak
ada dalam literature dan peraturan Undang-Undang Perkawinan.
c. Keegoisan orang tua
Mengenai keegoisan orang tua ini, biasanya orang tua,
khususnya ibu lebih dominan dalam keluarga sehingga ibu merasa
dapat menentukan apapun sesuai dengan kehendaknya termasuk dalam
perkawinan anak-anak mereka. Hal ini biasanya, karena orang tua
merasa tidak sesuai dengan pilihan anaknya. Oleh karena itu dengan
ikut campurnya orang tua dalam rumah tangga anaknya, dapat
menimbulkan kecekcokan dalam rumah tangga tersebut yang dapat
berakibat pada perceraian/putusnya perkawinan.
116
Disini dapat disimpulkan kekuasaan orang tua terhadap anaknya
menyebabkan munculnya sikap ego, bahwa semua kehendak orang tua
harus selalu diikuti dan dituruti anaknya tanpa mengindahkan kebahagiaan
anaknya sendiri.
B. Saran-saran
1. Sebaiknya Aparat Pemerintah yang berkepentingan dan bersangkutan
dengan Urusan Agama terutama masalah perkawinan giat memberikan
penyuluhan atau membuka konseling mengenai pentingnya aturan-aturan
dan lembaga perkawinan termasuk masalah perwalian dalam perkawinan
terutama pada masyarakat di pedesaan.
2. Para ustadz lebih menekankan dalam dakwah dan syiarnya agama Islam
dengan mengajak masyarakat untuk bisa lebih berpikir positif dalam
menyikapi kehidupan perkawinan keluarga Islami dan membuka nurani
untuk bisa mengerti dan menghormati perkawinan dan tujuan dari
perkawinan itu sendiri agar tidak terjadi pelecehan dan sikap meremehkan
terhadap perkawinan.
3. Para orang tua dalam membina rumah tangga yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat, hendaknya menjadi suri tauladan dalam
kehidupan rumah tangga, curahan kasih sayang terhadap anak-anak
hendaknya timbul dari perasaan yang dalam serta penuh keikhlasan.
4. Sejak saat adanya pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan di
Kantor Pegawai Pencatat Perkawinan ( dalam hal ini adalah KUA),
117
memberikan nasehat-nasehat yang berhubungan dengan akan
dilaksanakannya suatu perkawinan mengenai hal-hal yang menyangkut
dengan segi hak-hak, tanggung jawab serta kewajiban suami isteri.
118
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT. Tugu Muda Indonesia, Semarang,
1990.
Ahmad Azhar Bashir, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1980.
Ahmad Husnan, Hukum Keadilan antara wanita dan laki-laki, Penerbit Al-Husna,
Solo, 1995.
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, Yogyakarta, 1984.
Djamali, R. Abdul, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II)
Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, Penerbit,
CV Mandar Maju, Bandung, 1992.
-----------------, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Hasan Basri, Keluarga Sakinah, Tinjauan Psikologis dan Agama, Penerbit
Pustaka Belajar Yogyakarta, 1994.
Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional Indonesia, Penerbit Tintamas, Jakarta,
1961.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990.
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Dalam Masalah Nikah dan rujuk, Ihya
Ulumuddin, Jakarta, 1971.
Idris Ramulyo, Mohd, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.
119
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1995 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997.
Lili Rosyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia,
Alumni, Bandung, 1982.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, CV Al Hidayah, Jakarta, 1964.
Miftah Faridl, Masalah Nikah dan Keluarga, Penerbit Gema Insani Press, Jakarta,
1999.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU
Nomor 7 Tahun 1989, Edisi Pertama, Sinar Grafika, 2001.
Nashrudin Thoha, Pedoman Perkawinan Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
1967.
Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pegawai Pembantu Pencatat Nikah, Proyek
Peningkatan Sarana Keagamaan Islam. Zakat dan Wakaf, 1997/1998.
Prawirohamidjojo, R Soetopo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 1988.
Riduan Syahrani, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni,
Bandung, 1976.
Ronny Hanitijo Sumitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jadimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1994.
Saidus Syahnan, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya
Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1981.
120
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 1974.
Soemiyati, Hukum Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan, Penerbit
Liberty, Yogyakarta, 1986.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1994.
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES, Jakarta,
1989.
Sutrisno Hadi, Metodologi Reseach II, Penerbit Yayasan Fakultas Psikologi,
UGM, Yogyakarta, 1993.
Sutopo, HB, Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif, Fakultas Hukum UNS,
Surakarta, 1981.
Syarifie, LM, Membina Cinta Menuju Perkawinan, Putra Pelajar, Gresik, 1999.
Thalib. M, 25 Tuntutan Upacara Perkawinan Islam, Irsyad Baitus Salam,
Bandung, 1999.
UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Warjiyati, Sri dan Bahdar Johan Nasution, Hukum Perdata Islam Kompetensi
Peradilan Agama tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf
dan Shodaqoh, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 1997.
Winarno Surahmad, Dasar Research, CV Tarsito, Bandung, 1975.
121

Related Posts:

Entri Populer

Arsip Blog